Jika kita bicara tentang pendidikan tinggi, angka-angka yang mencerminkan minat masyarakat Indonesia untuk melanjutkan ke jenjang pascasarjana ternyata cukup mencengangkan dalam artian, mencengangkan betapa kecilnya.
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tahun 2022, hanya 0,45% penduduk usia produktif Indonesia yang berhasil meraih gelar S2. Lebih miris lagi, jumlah lulusan S3 hanya 0,03%. Dengan populasi usia produktif mencapai 194,48 juta orang, bisa dibilang para master dan doktor ini adalah spesies langka di negeri sendiri.
"Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, toh gaji tetap segitu-gitu saja," begitu kira-kira alasan yang sering kita dengar. Di tengah realita kerja yang kadang tak sesuai ekspektasi, siapa yang tidak frustrasi? Lulusan sarjana saja banyak yang masih berjuang mendapatkan pekerjaan yang layak, apalagi membayangkan investasi waktu, tenaga, dan uang untuk melanjutkan ke S2 atau S3.
Biaya pendidikan pascasarjana memang tidak murah, tetapi bukan itu saja masalahnya. Banyak yang merasa bahwa gelar pascasarjana tidak serta-merta menjamin peningkatan kualitas hidup secara ekonomi. Bahkan, stigma bahwa pendidikan tinggi hanyalah "tambahan gelar di belakang nama" masih kuat.
Mari kita jujur: pendidikan tinggi memang tidak selalu langsung berhubungan dengan kenaikan gaji atau status sosial. Tapi apakah itu berarti pendidikan pascasarjana tidak berharga? Di negara-negara maju, pendidikan tinggi dihormati bukan semata karena gelar, melainkan karena kontribusi ilmu dan inovasi yang dihasilkan.
Sementara di sini, fokus kita sering kali lebih pada seberapa cepat pendidikan bisa menghasilkan uang. Ironisnya, kita sering memandang rendah pendidikan tinggi, tetapi tetap iri melihat negara-negara lain yang inovasi teknologinya luar biasa. Padahal, inovasi itu lahir dari penelitian panjang yang dilakukan para master dan doktor.
Memang benar, melanjutkan pendidikan membutuhkan pengorbanan besar. Tapi mari pikirkan ini: tanpa investasi dalam pendidikan, bagaimana kita bisa bersaing di tingkat global? Jika kita terus beralasan "toh gaji tetap segitu," kapan kita bisa keluar dari lingkaran ini? Selain itu, pemerintah dan perusahaan juga perlu introspeksi.
Jika gelar pascasarjana tidak dihargai secara ekonomi atau sosial, tentu orang-orang enggan melanjutkan pendidikan. Di sinilah peran penting kebijakan yang mendukung riset dan inovasi, serta penghargaan yang layak bagi lulusan S2 dan S3.
Memang mudah untuk berkata, "Sekolah tinggi hanya untuk yang kaya." Tapi mungkin ini waktunya untuk mengubah pola pikir kita. Pendidikan pascasarjana bukan sekadar soal gelar atau gaji, melainkan tentang membuka pintu untuk berkontribusi lebih besar. Kalau kita ingin Indonesia maju, jumlah master dan doktor yang hanya setara jumlah kucing di komplek perumahan harus segera bertambah.
Jadi, mau terus bertahan di angka 0,45% dan 0,03%, atau mulai membuktikan bahwa pendidikan pascasarjana memang layak diperjuangkan? Pilihan ada di tangan kita. Jangan sampai nanti kita hanya bisa berkata, "Kenapa ya, kok negara lain maju banget?" jawabannya sudah ada: "mereka serius soal pendidikan tinggi".