Lihat ke Halaman Asli

Novia Respati

TERVERIFIKASI

Wirausaha

Cerpen: Membunuh Rindu-rindu

Diperbarui: 26 Januari 2025   12:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar : pexels.com 

Aku meraba ke sampingku, menepuk-nepuk ranjang mencari keberadaan suamiku. Tapi, ke mana dia, kenapa dia tidak ada? Harusnya dia masih tidur di sampingku.

Rasa takut akan kehilangan dirinya telah memuncak di dadaku, hingga aku pun membuka kedua mata dan menoleh ke samping.

Kuhela nafas dan tertunduk diam, setelah semua kesadaranku terkumpul penuh. Aku baru ingat, kalau aku belum menikah. Lantas mengapa rasa memiliki ini begitu kuat? Seolah aku benar-benar sudah memilikinya.

Dalam sekejap terlintas wajah Bastian dalam ingatanku. Kuhirup dalam-dalam udara di sekelilingku, mencoba menemukan aroma tubuhnya yang masih sangat jelas kuingat hingga detik ini.

Namun, aku hanya dapat mengernyitkan dahi, menekan air mata yang tertahan agar lekas luruh sepenuhnya di pipiku. Apa hidupku sudah terlalu konyol, sampai aku masih saja berharap akan kehadirannya yang nyata di sisiku?

***
Sekitar empat belas tahun yang lalu, waktu itu Bastian membawaku kepada orang tuanya. Kami dipertemukan di sebuah restoran untuk menikmati momen makan malam bersama.

Meski sedikit canggung, tapi aku berhasil mengatasi perasaan itu dan melangkah ringan di samping Bastian, menghampiri keberadaan orang tuanya yang sudah menunggu lebih dulu di meja makan.

Tak pernah terbayangkan olehku sebelumnya, bahwa sejak malam itu hubunganku semakin dekat dengan orang tuanya. Setiap kali bersama mereka, aku seperti menemukan keluarga baru, dan kehangatan yang utuh, yang telah lama kurindukan.

Namun, aku memang paling dekat dengan Pak Hendro, papa Bastian. Sosok pria enam puluh tahun itu selalu menerima kedatanganku dengan wajah ceria dan penuh antusias.

Beliau senang berbincang tentang banyak hal denganku. Bahkan ternyata, kami punya selera minum kopi yang sama. Kami sama-sama menyukai kopi hitam yang dicampur dengan bubuk krimer, tanpa gula, dan diseduh dengan temperatur 96 derajat celcius. Entah mengapa kami bisa sekompak itu.

***
"Lira! Sudah jam berapa ini.. Kamu dandan di sini saja. Cepat ke sini ya!" terdengar nyaring suara mamaku dari kejauhan sana. Telepon pun terputus setelah beliau mendengar jawaban singkat dariku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline