Lihat ke Halaman Asli

Novia Respati

TERVERIFIKASI

Wirausaha

Cerpen : Kereta Termanis

Diperbarui: 11 Desember 2024   19:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kereta yang manis (sumber gambar : inews.id)

Seberkas sinar mentari di awal sore ini menusuk wajahku, membuatku terbangun dari tidur. Meski sinarnya tak begitu menyilaukan mata, namun kehangatannya membuatku merasa sedikit tidak nyaman.

Bahu kiriku terasa berat, rupanya suamiku juga tertidur. Entah sejak kapan dia menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku hanya dapat melirik sekilas wajahnya yang lembut, dan perlahan memperbaiki letak kaca matanya yang mulai merosot.

Tapi aku tidak tahan untuk tidak menyentuh wajah itu, wajah yang bagiku sangat menggemaskan. Aku pun tersenyum sendiri saat menyentuh wajahnya, orang bodoh mana yang ketiduran ketika seharusnya kami bisa menikmati sepanjang perjalanan ini.

Sampai akhirnya lamunan membawaku pada kenangan lima tahun yang lalu. Saat pertama kalinya kami berbincang di atas kereta ini, kereta yang sama. Dia tak pernah tahu bahwa waktu itu, aku harus bekerja keras mengendalikan degup jantungku saat aku nekat duduk di sampingnya.

Hari ini, aku dan dia kembali duduk bersama di kursi kereta ini, persis di sini, di tempat kami duduk waktu itu. Bagiku, ini adalah kereta termanis yang pernah kunikmati selama hidup. Ku hela nafas, dan meyakinkan diri sepenuhnya bahwa ini bukanlah mimpi. Dan lamunanku berakhir saat dia mengambil tanganku untuk digenggamnya.

"Tadi kamu tidur duluan, makanya aku ikut tidur." ucapnya sambil mengangkat kepala dari bahuku.

Dia selalu menjelaskan sesuatu yang belum sempat aku tanyakan. Hebatnya, dia selalu tahu apa yang akan ku tanyakan padanya. Aku pun hanya tertawa mendengar ucapannya tadi.

"Bisa lepasin dulu tanganku? Aku mau ambil roti."

"Ngga bisa! Nanti saja ambil rotinya." jawabnya santai sambil menjatuhkan kepalanya lagi di bahuku, dan tangannya semakin mengeratkan genggaman tangan kami.

"Jangan tidur lagi!" pintaku, dan dijawab hanya dengan tawanya yang renyah.

Aku sangat beruntung memilikinya, dia selalu berhasil membuatku tertawa dengan segala tingkah aneh dan ucapannya yang sering tak terduga. Padahal dulu ku pikir, bicara dengannya sama saja seperti mengajak bicara batu nisan di kuburan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline