Ada semacam quotes konyol yang sejalan dengan kondisi saya saat ini, seperti inilah bunyinya :
"Waktu kecil : Gue lihat orang dewasa pada nikah.
Setelah dewasa : Gue lihat anak kecil pada nikah."
Yang dimaksud "anak kecil" di sini, merujuk pada mereka yang berusia lebih muda atau jauh di bawah usia saya saat ini. Quotes di atas populer dalam grup angkatan 90an.
Sebenarnya, saya cukup ragu untuk menulis topik pilihan kali ini yang mengusung tema Lonely Marriage. Maklum, saya belum pernah mengalami hidup dalam sebuah pernikahan. Kalau ikut menulis perihal ini, takutnya nanti dibilang sok tahu.
Namun, setelah membaca artikel dari beberapa teman kompasianer yang membahas tema ini, maka saya putuskan untuk ikut menulis.
Terkadang saya heran, sekaligus kagum pada mereka yang berani mengambil keputusan untuk menikah di usia yang terbilang masih sangat muda. Tentu saja mereka punya alasan masing-masing di balik keputusannya menikah muda.
Dan saya sangat mengapresiasi keberanian mereka dalam mengambil keputusan itu. Sebab yang usianya sudah matang, belum tentu berani untuk melangkah ke jenjang tersebut.
Menurut saya pribadi, menikah adalah menyatukan dua kepala yang bertemu saat keduanya sudah sama-sama besar. Artinya, baik si lelaki maupun perempuan masing-masing sudah melewati fase kehidupannya sejak kecil hingga beranjak dewasa, dengan segala kisah hidupnya masing-masing.
Dan pada fase tersebut, ada begitu banyak hal positif dan negatif yang telah terjadi, sehingga dapat mempengaruhi pembentukan karakternya masing-masing. Ada tipe yang mengedepankan logika, baru perasaan, namun ada pula yang sebaliknya.
Terlepas dari masalah usia, setiap insan yang berani melangkah ke jenjang pernikahan sudah seharusnya sangat memahami akan segala konsekuensi yang ada dari ikatan pernikahan yang hendak dijalaninya.