Bagian 6
Setibanya aku kembali di kedai setelah makan siang di luar, Mutia langsung mengatakan padaku bahwa tadi Mba Lidya menanyakan aku pada mereka.
"Mel.. Tadi Mba Lidya dateng-dateng nanyain kamu.. Si Amel potong rambut ya?"
"Terus?"
"Kata dia, tadi Saya lihat Amel kayaknya pas lagi mau nyeberang."
Aku terdiam seraya mengenakan celemek hijauku kembali. Kemudian Faris berpamitan padaku untuk keluar makan siang. Aku mengangguk padanya, "Hmm.." dia pun berlalu menuju ruangan di belakang kami.
Benar saja tebakanku, tadi Mba Lidya melihatku dari dalam mobilnya. Kalau dia bisa melihatku dengan jelas, berarti dia juga melihat di sampingku ada Henry. Padahal aku sudah menunduk, tapi dia masih bisa mengenaliku. Sungguh, sampai kapan aku harus merasa tidak enak padanya. Aku telah menjadi sedikit canggung tiap kali berhadapan dengannya, padahal Mba Lidya terlihat masih bersikap wajar, masih sama seperti biasanya kepada ku. Meski mungkin hatinya sangat cemburu tiap kali melihat diriku.
Belum selesai lamunanku memikirkan Mba Lidya, tiba-tiba saja suaranya terdengar memanggil namaku. Dia sudah berdiri tegap seraya tersenyum simpul memandangku.
"Mel, tolong buatin Saya kopi latte ya, pake es."
Aku mengangguk, mengiyakan seraya melirik dirinya yang sedang menjatuhkan diri di kursi tinggi, samping meja kerjaku, "Iya Mba.." tangan-tanganku pun sigap mengambil peralatan untuk menyiapkan pesanannya. Mba Lidya masih mengamati pekerjaan tanganku sambil sekali-sekali menoleh ke luar area kedai dengan bertopang dagu.
Aku sangat bersyukur mengenal Mba Lidya, sebetulnya kalau dia mau, sejak jauh-jauh hari bisa saja dia memecat ku dari kedai ini. Mana mungkin dia bisa menahan rasa cemburunya berhadapan dengan perempuan yang dicintai oleh lelaki yang dicintainya. Mba Lidya sangat bisa dan berhak mengusirku dari sini kalau dia mau. Tapi dia tidak melakukan itu. Dia sangat profesional dalam pekerjaannya. Dia sangat menghargai tenagaku di sini.