Pertama-tama saya turut berduka cita atas meninggalkan Albertus Slamet Sugiardi, Rest in Peace.
Kedua, tanpa menyalahkan siapapun, hendaknya kita lebih jeli dalam melihat kejadian ini dan tidak mudah terbawa opini negatif yang dibentuk pihak-pihak tertentu tentang umat Islam.
17 Desember 2018, Yogyakarta kembali diterpa isu intoleransi yang dilakukan oleh mayoritas terhadap minoritas. Pemakaman Alm. Albertus Slamet Sugiardi di TPU di Jambon, Purbaya, Kotagede menjadi perbincangan yang bahkan dikomentari petinggi negara sekelas Menteri. Penyebabnya adalah kebijakan masyarakat sekitar yang menolak adanya lambang salib di TPU tersebut.
Pada dasarnya penolakan masyarakat sekitar tidak dilakukan secara sepihak, melainkan telah didiskusikan dengan keluarga Almarhum. Lantas mengapa kasus ini digaungkan secara mengerikan oleh berbagai media dengan membubuhkan judul 'Salib Digergaji'?
Agar pandangan terkait kasus ini jelas dan berimbang, maka berikut adalah fakta yang mungkin tertutup oleh judul yang dilebih-lebihkan tersebut.
Dilansir dari Ngopibareng.id, keluarga pada awalnya mengehendaki agar Almarhum dimakamkan di kompleks makan di depan gereja Santo Paulus, namun karena Almarhum bukan warga setempat, maka pihak gereja memberi alternatif lain, yakni berembuk dengan Bedjo Mulyono selaku tokoh masyarakat Purbaya agar dimakamkan di TPU setempat.
Keluarga almarhum bertempat tinggal di RW 13, Kelurahan Purbaya. Terdapat 150 keluarga di RW tersebut dan 3 diantaranya adalah pemeluk agama Nasrani termasuk keluarga Alm. Slamet.
Masyarakat yang diwakilkan oleh tokoh-tokohnya kemudian menerima adanya pemakaman Alm. di TPU tersebut dengan beberapa syarat yang juga telah disepakati oleh pihak keluarga tanpa ada paksaan.
Syarat tersebut antara lain tidak ada simbol keagamaan (salib) dan pemakaman dilakukan di pinggiran TPU. Kesepakatan tersebut telah diformalkan kedalam bentuk hitam diatas putih dengan Maria Sutris Warni (Istri Alm.) sebagai salah satu penandatangan bersama Bedjo Mulyono (tokoh masyarakat), Soleh Rahmat Hidayat (ketua RT 53), dan Slamet Riyadi (ketua RW 13).
Pihak keluarga yang telah membawa pusaran berbentuk salib kemudian setuju agar pusara tersebut dipotong sehingga tidak menyalahi kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya.
Kejadian ini pun mendapat atensi dari Sri Sultan HB ke- X selaku gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Beliau mengatakan bahwa kejadian ini terjadi karena adanya perbedaan tingkat pemahaman makna toleransi di masyarakat, dan keinginan masyarakat untuk menyelesaikan masalah secara praktis.