Siang ini tidak ada setitik pun awan di langit. Matahari menyinari angkasa dengan leluasa di tengah birunya lautan atas. Sebuah tangan kecil mencoba meraih cahaya itu agar mendekat ke hamparan laut di depannya. Sambil duduk sendiri di atas bangunan kayu, ditemani desiran angin dari tepi pantai, ia melamun dalam diam. Sesekali tersenyum setiap ombak terlihat menyapanya.
Famajjah. Gadis kecil yang sangat anggun. Setiap hari selalu tersenyum, membuat seisi kerajaan selalu tenang tiap kali melihatnya. Matanya yang elok dan sikapnya yang ramah telah diturunkan dari ibunya yang tak kalah menawan, Opu Daeng Mawellu. Berani dan disiplin, sifat yang tak hilang ia dapatkan dari ayahnya, Muhammad Abdullah to Barengseng.
Keluarga bangsawan ini dikenal sangat religius terutama dengan nuansa islaminya. Setiap minggu, raja selalu menemui masyarakat sekitar sambil membagikan kebutuhan pokok yang diperlukan. Bahkan beliau selalu salat berjamaah di masjid-masjid yang ada di sekitar kerajaan. Keramahannya ini membuat rakyat sangat mencintai mereka. Tak hayal, setiap pagi berjejer ikan hasil tangkapan para nelayan yang sengaja diberikan untuk raja sebagai bentuk rasa terima kasih atas jasanya selama ini.
Meskipun berasal dari keluarga kerajaan, Famajjah tidak terikat dengan aturan yang begitu ketat. Selagi ia ingat waktu mengaji dan selalu menjaga diri, ayahnya tak terlalu mempermasalahkan hal lain. Bahkan ia selalu bermain dengan anak-anak di pesisir pantai. Ya, para inang (pengasuh) tetap mengawasi dia tiap kali bepergian. Tapi selama tidak mengganggunya untuk berkegiatan, ia tak merasa keberatan dengan hal itu, karena ia sadar itu pun untuk kebaikannya.
Allahu akbar… Allahu akbar…
“Majjah, kita pulang dulu ya,” ucap Siti, salah satu temannya.
“Iya, kalau tidak, indoku akan mengadu ke pak ustaz,” ucap yang lainnya.
“Iya, aku pun pulang dulu,” jawabnya.
Sejak kecil, Famajjah tidak pernah mendapat pendidikan formal seperti sekolah Belanda. Ia selalu dituntun untuk mempelajari ilmu agama dan budaya. Setiap azan asar berkumandang ia harus bersiap mengaji bersama ulama di sana. Tidak seperti kebanyakan anak, Famajjah cepat belajar Al-Qur’an. Famajjah memang seorang yang buta huruf, tapi di usia remaja ia telah pandai mempelajari berbagai kitab yang mengandung ilmu fiqih, nahwu, sharaf dan balaghah yang di mana kitab-kitab tersebut ditulis langsung oleh Habib Sulaiman atau Datuk Pattimang, seorang tokoh penyiar agama Islam di Sulawesi Selatan. Semangatnya ini menuntun ia untuk berkembang dalam lingkup agama.
Di samping nilai agama, ia pun mempelajari tentang budaya. Bagaimana kehidupan kerajaan sebelum dan sesudah ia lahir, bagaimana kedatangan Belanda ke tanah Luwu, banyak hal yang selalu ia tanyakan. Apalagi tentang Kerajaan Luwu, tempat tinggalnya, yang termasuk salah satu kerajaan yang menentang pemerintahan Belanda di masa ayahnya memerintah. Meskipun demikian, hal itu terlihat ketika ia beranjak dewasa.
“Ambo, NICA bakal sampai kapan ada di sini?” tanya Famajjah kepada ayahnya.