Pada masa pemerintahan Jokowi dikala ini mutu demokrasi di Indonesia mengalami penyusutan yang signifikan. Belum lagi akhir- akhir ini tersiar draft pasal penghinaan presiden masuk kedalam RUU KUHP. Dengan dimasukkannya Pasal Penghinaan Presiden ke dalam draft RUU KUHP di khawatirkan selaku wujud dari pembungkaman kritik terhadap pemimpin negeri dan menciderai demokrasi di Indonesia. Pemerintah dalam perihal ini mempunyai alibi dan pertimbangan mengapa Pasal Penghinaan Presiden di dalam draft RUU KUHP masih dipertahankan.
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly telah menegaskan tidak akan merevisi terlebih mencabut Pasal 218 dan 219 tentang Penghinaan Presiden dalam draft RUU KUHP. Baginya apabila Pasal 218 dan 219 ini dihapus maka akan berakibat pada demokrasi kedepannya. Ia berpendapat jika pasal tersebut merupakan wujud ketegasan negara untuk membatasi demokrasi dalam melindungi kewibawaan simbol negara serta tidak ingin Indonesia menjadi negeri yang liberal. Memandang kedua pasal tersebut memiliki ambiguitas apalagi dapat dikatakan pasal karet.
Sebab sejatinya suatu pasal wajib mempunyai makna serta nilai yang jelas didalamnya. Sepatutnya pasal tersebut memaparkan batas nilai dalam penghinaan terhadap pemimpin negara. Batas nilai dalam penghinaan sendiri sangat bersifat subjektif serta tidak terbatas.
Akibat dari keambiguitasan pasal banyak para jurnalis, aktivis sampai masyarakat dapat terjerat didalam pasal ini. Realitanya, suatu kritikan dapat dikatan sebagai penghinaan, sementara itu dalam penyampaian kritik juga terdapat bermacam- macam cara.
Harusnya negara menghormati hak rakyat untuk menyampaikan pendapat, kritik, serta ruang untuk berekspresi baik pada media massa ataupun media offline. Hak kebebasan berpendapat serta berekspresi yang merupakan bagian dari HAM memanglah pada dasarnya digagas guna menjamin kebebasan seluruh orang terhadap kemampuan intervensi ataupun pembungkaman komentar oleh kekuasaan.
Bermacam pihak juga berharap agar pasal penghinaan presiden ini dihapus dari draft RUU KUHP sebab kritik terhadap pemimpin negeri masih sangat diperlukan untuk menguatkan kontrol publik terhadap pemegang otoritas melalui pemerintahan yang partisipatif serta responsif agar tidak disalahgunakan serta tidak terjadi kesewenang- wenangan.
Bagaimanapun, Indonesia merupakan negara demokrasi, jangan sampai dengan adanya pasal tersebut dapat muncul ke otoriteran serta hukum yang represif, rakyat selaku pemberi mandat berhak untuk menilai kinerja presiden dengan sejujur- jujurnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H