Seperti tak tentunya hujan bulan Juni, bulan rinduku masih begitu liar. Tak pernah mudah menaklukan sebuah peristiwa kehilangan, walau dibalut dengan apapun.
***
Hingga kini aku masih merasa jika kamu adalah pasanganku dalam berpuisi. Pasangan puisi yang selalu merasa jatuh terjerembab dalam cinta. Sesekali aku dan kamu bersikap bak pemain drama queen, yang pada tiap akhir ceritanya begitu mudah ditebak. Saling meninggalkan namun tak lama kemudian saling mencari.
Maret sudah menghitung hari ketigabelasnya, dan semakin memintal rinduku menjadi kental. Kental dengan warnanya yang merah darah.
Dan tiba-tiba aku merindukan hujan. Aku ingin melihat langit di penuhi jamur raksasa. Super jamur raksasa dengan warnanya yang hitam pekat. Tak ada bintang. Bulan. Apalagi kejora.
Karena pada hitam pekatnya langit malam, selalu bisa kutemukan sepasang bola matamu yang kerap sembab. Sembab yang lembab. Hingga tak ada alasan bagi puisiku untuk tidak tumbuh subur di sana.
Terlalu suburnya puisiku tumbuh di matamu membuatku tanpa sadar selalu patuh duduk di teras depan rumah. Sekedar menanti hujan, demi bisa memunguti rindu yang berjatuhan. Rindu yang jatuh dari sepasang bola matamu yang legam.
***
Sepanjang siang di hari ketigabelas bulan Maret, kotaku kembali di guyur hujan. Dan seperti kanak-kanak yang mendapat mainan baru, aku menggilai tetesan rinai yang menghentak-hentak menghujami setiap ruas kulitku. Bagiku mereka ibarat perpanjangan lidahku, yang akan menyampaikan orasi sajak-sajak kerinduanku untukmu. Rindu yang kulumat dalam diam.
Pada dua matamu, Sayang
Ingin ku menjelma kalam