“Aku ingin patah hati”
“Hah!? Ga salah ?”
“Iya, beneran. Aku ingin patah hati” Bayu berlalu meninggalkan Aris yang terbengong-bengong.
“Kok pengen patah hati, patah hati itu kan ga enak. Patah hati itu kan salah satu penyebab seseorang menjadi kehilangan ‘kesadarannya’...Dasar aneh” gumam Aris sendiri, menanggapi keinginan Bayu, sahabatnya sejak kecil.
~
9 bulan kemudian,
Angka di pergelangan tangan mulai menunjukan waktu dini hari. Para pengunjung cafe yang mulanya penuh sesak, satu persatu mulai beranjak pergi. Meja-meja mulai tak berpenghuni, yang tersisa hanya kulit kacang berserakan, puntung rokok lengkap dengan abunya, botol-botol minuman baik yang mengandung alkohol ataupun yang bebas alkohol berserakan di sana sini.
Suasana hinggar binggar, kini meredup. Alunan musik mereda seiring lemasnya suara sang penyanyi dan pemain alat musik.
“Bay, ayo balik. Udah subuh nich” bujuk Aris.
“Ah ntaran, dech. Gue masih pengen duduk di sini” Bayu tak menggubris ajakan Aris. Dirinya nampak begitu asik menikmati asap rokok yang keluar dari hidung dan bibirnya. Sesekali, asap rokok itu mengambang di udara dengan berbagai bentuk. “Andai saja, aku bisa membentuk rupa Andini, dengan asap ini” lirihnya.
Andini. Ketika Bayu berceloteh tentang Andini, maka Aris akan memilih sikap diam. Dalam artian, diam untuk mendengarkan keluh kesah yang berdebam dalam dada seorang Bayu.
~
Bayu dan Andini adalah salah satu korban dari keusilan si Cupid, si pemanah asmara. Bahkan bisa jadi, menurut sebagian pandangan orang, Cupid telah salah sasaran atau bisa jadi terjadi kesalahan pada anak panahnya ketika dia melepaskannya.
Bayu, siapa tak mengenal Bayu, lelaki berbadan tegap dengan garis rahang tegas. Pesona “liarnya” makin kokoh dengan beberapa gambar yang dirajah di beberapa bagian tubuhnya.
Tak terhitung berapa banyak perempuan bertekuk lutut padanya. Jatuh tersungkur pada pesonanya.