Lihat ke Halaman Asli

Inem Ga Seksi

TERVERIFIKASI

Siapa Menunggu Siapa

Diperbarui: 21 September 2015   23:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Bukan sebuah rahasia lagi, jika menunggu adalah juaranya sakit hati.
Memutuskan menunggu, sama artinya sedang membuat buku tanpa uraian kata pengantar, pembuka apalagi penutup.

Semisalnya,

Menunggu-i seseorang yang tidak pernah sadar akan kehadiran diri kita, yang kerap kali muncul di hadapannya. Iya, dia melihat diri kita. Namun hanya sekedar melihat, setelahnya berakhir menjadi sebuah bayangan saja. Padahal sudah berapa denyut detik nadi dihabiskan hanya untuk menebak-nebak isi kepalanya, menerka-nerka apa yang disukai atau yang tidak disukai. Padahal bagi kita,si penunggu ini, hanya sekedar bertatap mata atau mendapatkan simpul senyumnya saja sudah cukup membuat bahagia. Sebuah bahagia yang sederhana. Namun sayangnya, dia tak menyadari bahwa sebuah rasa sudah terlampau lasuh. Dia hanya menyadari kehadiran diri kita saja, tapi dia tak sadar bahwa diri kita menunggu-i dia.

Menunggu-i sebuah jawaban. Ada sesuatu yang harus dipersiapkan ketika sebuah pertanyaan dilontarkan padanya. “Aku ini, apamu, tho?” menunggu jawaban darinya, rasanya sosok kita telah berubah menjadi arwah yang gentayangan. Sesuatu yang tidak akan pernah tenang menjalankan apapun, selama tanda tanya besar menggantung di pikiran dan hati. Tapi apa mau di kata, jawaban yang sebenarnya mudah dijawab, namun karena dia tidak ingin melakukannya, jadilah pertanyaan itu mengambang di udara. Menggantung. Dan karena hal tersebut, bisa diketahui mengapa ada arwah seseorang yang gentayangan. Karena tak mendapatkan jawaban atas “kematiannya”

Menunggu-i yang tak jua berjalan searah. Pada tiap-tiap episode berdebatan. Selalu muncul “Kamu itu...” atau “Aku ini...” Kita tak pernah ingin menemukan ujung dari perdebatan. Dan seperti biasa, si penunggu harus berada di pihak yang mengalah. Dengan berkeyakinan, bahwa sebuah usaha mengalah akan membuahkan akhir yang damai.

Yang tersakit dari episode menunggu-i adalah menunggu yang tak pasti dan yang tak mungkin kembali. Bagaimana bisa dan bagaimana mungkin kita harus terus berada dalam kondisi berlari, mengejar yang tak ingin menjadi kita ?
Tak terhitung, sudah berapa banyak dari kita menghabiskan waktu menghitung bintang demi bisa menghabiskan hari, menunggu dia. Seperti cahaya sang penunggu berjalan menujunya, seperti bias mentari sang penunggu menuju di mana embun berada. Namun ketika waktunya tiba, penunggu yang menujumu menemukan, dia ternyata menuju ke bukan kamu, tapi orang lain.

Yang tak mungkin kembali. Semua cinta yang pergi, jika dia kembali tidak akan pernah sama lagi. Karena yang pernah pergi, seperti domba yang tersesat dari kawanannya. Takan mudah baginya menemukan jalan kembali pulang. Apa yang bisa dilakukan ? Tidak ada. Sebab menunggu-i yang tak mungkin kembali rasanya seperti hidup dalam bayang-bayang depresi.

Menunggu-i cinta sejati menjemput. Ehm, banyak orang salah kaprah tentang ini. Sikap tidak sabaran, sikap tidak selektif telah membuat hati mudah terkoyak. Pepatah mengatakan, bahwa penebusan untuk cinta sejati adalah berkali-kali patah hati. Sebab hati yang patah menjadi begitu mudah peka, mana yang datang tepat waktu atau sebaliknya.
Menunggu-i cinta sejati hanya bisa terlampaui jika sikap intropeksi diri dijadikan teman menunggu.
Jadi, apakah kamu dan aku akan saling menunggu ? atau sebaliknya.

Balikpapan, 21-09-15

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline