Namanya Galih. Dengan badan tinggi tegap, dan pekerjaan yang mapan tentu bukan hal yang sulit baginya mencari pasangan hidup.
Namun ternyata itu semua tidak menjanjikan apapun, karena di usianya yang sudah memasuki 33 tahun, Galih masih tetap sendiri.
Sempat beberapa kali menjalin kedekatan dengan lawan jenis, namun beberapa kali juga dirinya memilih mundur.
“Aku mencari yang selevel dengan Scarlet” katanya suatu hari, saat Jonas mempertanyakan kesendiriannya.
Jonas pun melongo mendengar jawabannya Galih.
“Eh, kenapa melongo begitu, biasa aja keleus” Galih tersenyum geli melihat ekspresi sahabatnya.
“Jangan gila dong, di dunia ini ga ada mahluk yang serupa persis. Anak kembar aja ada bedanya. Apalagi Scarlet yang bukan kembar. Stres berat, Ente”
“Ha...ha..ha...nah itu pinter. Sudahlah Bro, ndak usah bahas soal kesendirianku. Ini soal kecocokan ukuran, Man” Galih masih santai menjawab pertanyaannya Jonas, sambil mengerling nakal.
“Eh, buseeetttt....Iyaaaa....Scarlet luar biasa...Boopsnya!!!” Jonas menimpali sambil membentuk kedua telapak tangannya seolah-olah tengah memegang sesuatu.
***
Galih memacu sepeda motornya agak melebihi kecepatan dari biasanya, bahkan saat beberapa kali paha kanannya merasakan ponselnya bergetar, tak dihiraukannya.
Udara terik menyengat, asap kendaraan dari beberapa knalpot pengguna jalanan mengepul tanpa tenggangrasa. Beberapa kali Galih terbatuk-batuk, namun tak jua lepas kedua tangannya dari kemudi motornya.
Wajahnya nampak gusar ketika harus berhenti sebanyak 4 kali karena lampu lalu lintas berwarna merah.
Dan setiap kali berhenti di lampu merah, matanya melirik pada arloji berwarna hitam keluaran negara tetangga. Wajahnya pun semakin gusar, bahkan dengan tidak sabar Galih langsung menyerobot tancap gas saat lampu lalulintas berwarna hijau.
“Mas, Alet ada di Samarinda. Ketemuan yuk, di plaza depan hotel Mesra. Temani makan steam boat ya. Alet tunggu jam 4 sore. Dan, awas kalau ada bau rokok”
Rupanya sms tadi pagi dari seseorang bernama Alet-lah yang membuat Galih menjadi gusar sore ini.
Alet adalah panggilan dari Scarlet. Perempuan yang bertahun-tahun lalu hingga sekarang berdiam lama dalam hatinya.
Bertemu pertama kali saat Galih masih berusia 26 tahun, dan kini menjelang 33 tahun. Artinya sudah 7 tahun Galih memilih tetap jatuh cinta pada Scarlet. Padahal perlakuan Scarlet tidaklah sepadan dengan perlakuan Galih padanya.
Bukan hanya Jonas, beberapa sahabatnya sudah kerap kali mengingatkan bahwa Scarlet sudah waktunya “di pensiunkan” keberadaannya. Namun lagi-lagi jawabannya sama “Aku mencari yang selevel dengan Scarlet. Kebaikannya, kelembutannya juga cemburunya, juga sikap idealisnya yang membabibuta”
Itu...itu saja jawaban Galih. Akhirnya para sahabatpun menjadi bosan sendiri. Mereka sudah terlanjur hafal dengan jawaban itu.
Di sms disebutkan bahwa jam 4 adalah waktu pertemuannya. Namun Galih datang 40 menit lebih awal.
Badan tegapnya berbalut kaos berwarna hijau, dengan logo seseorang yang tengah bermain polo di dada kirinya. Dengan celana jeans berwarna gelap, penampilannya mencuri perhatian beberapa lawan jenis yang melihatnya. Galih tak menyadari, bahwa pesona coolnya membuat beberapa SPG yang melihatnya menjadi salah tingkah.
Senyumnya mengambang di udara. Seperti partikel-partikel debu yang berterbangan. Tak terlihat namun begitu terasa mengelitik lubang hidung.
Galih sudah sampai di tempat yang dijanjikan. Dirinya sengaja mencari tempat duduk yang mudah terlihat. Hidungnya mengendus-endus badannya sendiri memastikan tak ada bau tembakau tercium. Layaknya sholat yang berhukum wajib, maka saat hendak menemui Scarlet, hukumnya pun wajib untuk menyingkirkan aroma tembakau.
Galih sering mengumpamakan bahwa Scarlet seperti perempuan yang hidungnya seperti anjing anggota K-9, sepintar apapun Galih menyamarkan aroma tembakau, Scarlet selalu saja bisa mengendusnya. Dan jika sudah begini, Galih harus mau menahan telinga hingga pedas dengan gerutuan dan omelan Scarlet.
“Iya, Yang...Iya..Mas salah. Tadi di kantor meeting, ruangannya dingin banget. Jadi pas coffebreak mas merokok”
“Iya, Yang...tadi mas ketemu ama klien, dia nawarin rokok, masak ditolak. Ga enak dong nolak rejeki”
“Iya, Yang...Tadi makan siangnya nasi padang, pedes banget. Ga tahan pedesnya jadinya merokok deh habis makan.”
Bla..bla..bla..
Dan dari seribu seratus alasan Galih merokok, jawaban Scarlet hanya satu “Alet ga suka bau rokok, pilih rokok atau Alet”
Galih hanya termangu dengan pilihan yang diberikan Scarlet. Sebagai pecandu tembakau, yang sudah mulai merokok sejak usia 12 tahun atau sejak kelas 1 Sekolah Menengah Pertama, merokok adalah sebagaian dari gaya hidupnya, boleh dibilang merokok adalah separuh kreativitasnya.
Galih terkejut, tersadar dari lamunannya tentang Scarlet. Aroma parfum white musk yang sangat dikenalnya menggoda hidungnya.
Bibirnya tersenyum, rona kebahagiaan terpancar jelas di wajahnya yang maskulin. Matanya bak bintang kejora. Lebih benderang dari biasanya.
“Yang..” sapanya lembut pada perempuan berambut panjang hampir sepinggang, yang menggenakan kemeja lengan panjang kotak-kotak berwarna hijau. Wajahnya cantik, tak membosankan untuk dipandang lama-lama.
“Hai Mas, apakabar ?” sapanya lembut “Kok, warna baju kita sama, ya” tunjuknya sambil tersenyum simpul dan langsung duduk di kursi yang berada tepat di depan Galih. Wajahnya merona merah muda. Walau matanya agak sedikit sipit, namun saat tertawa bintang-bintang berloncatan keluar dari sudut matanya. Indah.
“Iya dong, kan mas tahu Alet sukanya warna hijau.” Galih menjawab dengan senyum yang menggoda.
Scarlet nampak malu-malu. Namun, ekspresi berbinarnya tiba-tiba sedikit berubah, dengan kening sedikit berkerut keluarlah kalimat sakti miliknya “Mas, merokok ga hari ini ?” dengan hidung yang sedikit mengendus-endus.
“Iihhh..apaan sichh, Yang. Kok kayak gitu idungnya, malu nah diliat orang”
Scarlet akan tetap menjadi Scarlet, perempuan anggota komunitas anti rokok.
Sore itu, menjadi sore yang penuh romansa. Suasana yang kerap dirindukan galih, setelah beberapa tahun lamanya Scarlet kerap menghindar jika diajak bertemu. Walau Scarlet sudah memutuskan untuk tak bersamanya lagi namun Galih selalu merasa bahwa Scarlet masih bersamanya.
Panggilan “Yang” adalah panggilan yang tak pernah luput terucap dari bibirnya Galih. Baik bertatap muka secara langsung atau melalui media elektronik, panggilan ini sangat lekat.
Scarlet pernah bertanya “Mas, sampai kapan memanggil Alet dengan panggilan ‘Yang’, kan kita ga sama-sama lagi” tanyanya. Galih dengan santai namun berintonasi serius menjawab “Sampai kapanpun, Yang”
Scarlet termangu. Tersenyum tanpa arti.
***
Jonas memperhatikan Galih yang sejak tiba di kantor, wajahnya terlihat murung. Sesekali saja Galih bicara, itupun dengan terpaksa. Nada suaranya seperti tertekan. Jonas tak ingin bertanya apapun sebab Jonas paham jika Galih murung seperti ini biasanya karena tengah merindukan Scarlet, rindu yang sangat dalam. Perempuan yang meninggalkannya karena sikap Galih yang tak pernah bisa menghentikan kebiasaan merokoknya.
Dirinya sangat mendambakan sosok Scarlet, namun tembakau juga sesuatu zat yang saat ini sangat dibutuhkannya.
Scarlet, perempuan aktivitis anti rokok bukan membual saat memberikan pilihan pada Galih. Rokok atau dirinya.
Bagi Scarlet, paparan asap rokok sudah menghambat tumbuh kembang seorang anak, menganggu kepentingan orang lain akan kebutuhan udara bersih, pemborosan, ini, itu dan banyak lagi alasan yang dikemukakan Scarlet pada Galih.
Para sahabat Galih tahu, betapa kerasnya usaha Scarlet untuk membantu Galih menyembuhkan ketergantungannya pada tembakau.
Scarlet kerap membelikan Galih permen khusus perokok, membawa Galih ke pakar Hypnoterapi agar dirinya tersugesti bahwa merokok bukanlah kebiasaan yang harus dipertahankan, memberikan susu bergambar beruang agar paru-parunya bisa sedikit terbebas dari paparan nikotin dan zat beracun lainnya, bahkan tidak jarang Scarlet menemani Galih berolahraga.
Scarlet bukan perempuan yang hanya bisa menyuruh tapi dia juga perempuan yang memberi solusi, namun Galih adalah Galih. Kemauannya berhenti merokok belum sepenuhnya bulat, sehingga anjuran Scarlet kerap dilanggarnya, tentu saja hal ini menjadi penyebab Scarlet memilih untuk mengakhiri hubungan dengan Galih. Demi menjaga kebebasan mempertahankan prinsip, berpisah adalah jalan terbaik. Katanya dengan bijak.
Terkadang Galih merasa berang pada sikapnya Scarlet yang dianggapnya tidak mau bersabar, namun dengan tegas Scarlet akan menjawab “Segala sesuatu akan berhasil jika didasari oleh kemauan yang kuat dan keras, lah Mas aja ga bisa menolak ajakan teman-temannya Mas. Alet kan menyarankan kurangi dulu jumlah rokoknya, sehari Mas bisa habiskan satu bungkus, ya kurangilah jadi setengahnya. Tapi mana, ga ada, kan ? Dalam sehari tetap saja sebungkus, bahkan lebih. Alet sayang Mas, tapi Alet ga mau menyayangi orang yang ga bisa sayang dirinya sendiri”
Galih menjadi mahfum mengingat ucapan-ucapannya Scarlet.
***
Sesuai intruksi dari atasannya kemarin sore, bahwa esok pagi akan ada meeting evaluasi proyek. Maka pagi ini, pagi-pagi sekali Galih sudah sampai ke kantor. Ada beberapa berkas yang harus diprint sebagai bahan meeting.
Galih sangat fokus pada bahan meetingnya, hingga tak menyadari Jonas sudah berdiri di samping meja kerjanya. Membawa dua cangkir kopi. Jonas memberikan cangkir kopi satunya pada Galih. “Emang, teman Gua pengertian sekali pagi ini” Galih menerimanya sambil tersenyum. Jonas terdiam. Sepertinya ada sesuatu yang hendak di katakannya.
“Lih, Scarlet” katanya terbata “Dia sakit”
Galih terpaku, menoleh pada Jonas, menyelidik kesungguhan ucapan Jonas barusan.
“Kanker Payudara” lanjut Jonas. Sambil meletakkan cangkir kopinya. “Semalam aku ke Siloam, antar istriku cek kehamilan. Aku bertemu dengan Dea, adiknya Scarlet. Sehari setelah bertemu denganmu, Scarlet mengikuti serangkaian pemeriksaan tentang nyeri di payudaranya sebelah kanan. Hasilnya kanker payudara stadium satu. Siang ini mereka akan ke Penang. Akan berobat intensif di sana”
“Scarlet” Galih mengumam. “Masak sich. Kan dia bukan perokok, sangat menjaga pola hidupnya. Life stylenya dia juga lebih sehat dari aku”
“Lih, Scarlet memang bukan perokok aktif, namun lu ingat kan dia aktivitis anti rokok, kesehariannya berada di lingkungkan orang-orang yang merokok. Dia perokok pasif. Konon perokok pasif itu lebih rentan penyakit daripada perokok aktif, nah menurut dokter, bisa jadi paparan asap tembakau itulah pemicu sakitnya Scarlet. Sabar ya, Lih. Gue balik ruangan dulu, nyiapin bahan untuk meeting.” Jonas menepuk pundak kanannya Galih.
Galih menutup wajahnya dengan kedua tangannya, kemudian mengacak-acak rambutnya sendiri. Lalu menelungkupkan tangannya pada meja kerjanya yang berwarna coklat tua.
“Scarlet” panggilnya lirih.
***
Oil City, 13 May 15
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H