Lihat ke Halaman Asli

Inem Ga Seksi

TERVERIFIKASI

Jam 10 Lewat 2 Jam

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1393310707354866437

“Tunggu aku, di terminal Condong Catur.  Besok 11-11-11. Jam 10 pagi. Arjuna”

Begitulah pesan yang kuterima malam ini dari nomer yang tak kukenal namun aku masih mengenal nama pengirimnya. Dan hatiku seketika berubah menjadi sebuah taman yang berisi aneka warna bunga, ada merah, kuning, putih, orange, ungu. Semua jenis bunga dan warna menghampar. Indah.
Walau rasa keheranan muncul di tengah-tengah rasa girangku. Merasa aneh, bagaimana bisa Arjuna tiba-tiba berkirim sebuah pesan singkat  yang menurutku seperti ajakan kencan.

Tapi, ah sudahlah. Bukankah sudah sejak lama aku begitu ingin bertemu dengannya. Bertemu dan menanyakan mengapa dulu dia pergi meninggalkanku.

“Oh inikah rasa hendak bertemu mantan kekasih. ..(yang masih kurindukan) “batinku girang. Seperti lupa bahwa sebutan mantan sebenarnya sesuatu yang tidak layak untuk dikenang apalagi di perjuangan. Tepatnya, seorang mantan haruslah menjadi sesuatu yang di lupakan keberadaannya.



***

Aku terjaga mendahului waktu subuh. Aroma kegirangan menyeruak di hidungku. Tanganku menyentuh gagang jendela kayu yang ber-desaign ala joglo, membuka kedua daunnya dengan lebar. Dadaku mengembang, karena menghirup udara yang dingin tanpa ampun. Pagi ini rasanya adalah hari paling indah dan sejuk.

“Arjuna..” lirihku.

Bibirku ternyata masih bisa mengeja namanya dengan benar. Nama yang dulu..dulu sekali..sekitar 3 tahun yang lalu aku sumpah-sumpahin, aku umpat mati-matian dalam hati. Bahkan pernah terbersit untuk membawa fotonya ke seseorang yang menguasai ilmu hitam. Menjampi-jampi “anunya” agar menjadi beku. Sebeku hatiku yang dilukainya karena ternyata dia hanya seorang pria mata keranjang yang memanfaatkan kegantengannya demi mendapatkan perempuan yang dia inginkan.

***

Jam 9 lewat 17 menit, aku sudah memarkir mobil CRV hitamku. Memarkirnya berseberangan dengan terminal yang kami sepakati. Bersisian dengan warung bakso sederhana, namun konon rasanya tidak sesederhana kiosnya.

Sambil menunggu waktu menuju jam 10 tepat. Aku menoleh pada sisi kursi sebelah kiriku. Dan, ingatan asmaraku bersama Arjuna, meloncat satu persatu. Mulai dari awal perkenalan, PDKT, TTM dan akhirnya jadian.

Ehm, istilah jadian sepertinya adalah kosakata yang tak kutemukan di kamusku, sebab sampai kini aku selalu bertanya-tanya sendiri, tepatnya kapan aku dan dia jadian, dalam arti resmi menjadi sepasang kekasih.

Dan dari beberapa rentetan kisah yang lalu lalang di kepalaku. Satuhal yang tidak pernah lekang adalah sensasi ketika pertama kali dia menciumku. Menciumku dengan bertubi-tubi, sampai-sampai aku merasa hendak mati, sebab ciuman yang Arjuna berikan sudah membuat sirkulasi udara di paru-paruku tidak lancar. Bibirku megap-megap seperti seekor ikan yang terlempar ke daratan.

:mungkinkah hal ini yang membuatku tidak bisa melupakan Arjuna

Kulirik arloji di pergelangan tangan kananku.

09.59.

Mataku terbelalak. Ternyata duduk sambil mengingat masa lalu adalah salah satu cara membunuh waktu yang efektif dan efesien.

Buru-buru ku raih tas berwarna maroon, yang tergeletak tepat di belakang jok kursiku. Membuka lipatan paling depan, mengeluarkan lipstick warna merah bata, tanpa bantuan sebuah cermin aku memoleskan tipis-tipis ke bibirku.

Lalu kuraih telepon selularku yang berada di dashboard mobil. Jariku menuju kotak pesan, memastikan bahwa pesan semalam adalah benar-benar pesan dari Arjuna, mantan yang selalu kurindukan sekaligus yang sering ku maki-maki fotonya.

***

Jam 10.00 tepat.

Aku coba menelpon nomernya, namun dari seberang hanya respon ini yang kudapat. “Telepon yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar service area”

Bibirku mengerucut. Kecewa. Pikirku, kenapa nomernya tidak aktif, bukankah semalam mengirim pesan, mengajak bertemu. Lantas bagaimana aku bisa menemukannya, mengenalinya, sementara sudah 3 tahun lebih kami berpisah.

Ingatanku hanya mengingat dirinya ketika terahkir bertemu. Laki-laki kurus dengan tinggi sekitar 170an, kulit sawo matang dan dengan tubuh bagian sebelah kiri yang penuh tato. Rajahan-rajahan bertema tokoh pewayangan.

Dengan ragu aku keluar dari mobil, menyebrangi jalanan yang berdebu, karena deru asap kendaraan silih berganti melintasi jalanan.

Peluh mulai beranak pinak di keningku. Makin lama makin deras luruhnya, seperti tanaman padi yang mendapatkan pupuk cukup dan saluran pengairan yang baik.

Aku memilih duduk di sebuah tempat (yang terlihat) agak nyaman yang mereka sebut halte Bus TransYogja.

Berharap bisa duduk dengan menikmati fasilitas pendingin ruangan, kenyataannya aku malah terperangkap pada ruangan yang didalamnya berisi para pria tanpa tenggangrasa. Mereka merokok dengan asap mengepul pekat. Bibir hitam mereka seolah tanpa dosa menghembuskan asap beracun itu ke udara.

“Uhuk..”

Tenggorokanku mengirimkan alarm ketidaksukaannya pada asap yang melayang tipis di udara. Memberi perintah ke otak kanan dan kiriku agar segera beranjak dari tempat (yang menurutku) tidak sehat udaranya.

Akhirnya ku putuskan untuk berdamai dengan asap dan debu jalanan. Daripada harus bertoleransi dengan asap beracun itu.

Ku putar badanku berbalik arah, keluar dari ruangan yang bagiku mirip seperti Kamp. Penjagalan jaman Hitler.

“Merokok membunuhmu, Bung!” umpatku dalam hati.

***

…bahwa menunggu adalah sebuah kekecewaan yang tertunda.

10.35.

Sudah setengah jam berlalu, namun tanda-tanda kedatangan Arjuna belum juga menunjukan kenyataan.

Kuraih kembali telepon selular dari saku celana jeansku. Berharap ada pesan atau apapunlah yang menjelaskan keterlambatan ini. Namun, tak juga kutemukan apa-apa di sana. Selain beberapa sms, yang mendadak nampak tidak penting. Padahal dari beberapa pesan singkat yang masuk, ada 2 pesan yang berasal dari orang-orang paling dekat. Papa dan Satrio. Papa sudah jelas dialah lelaki biologis yang kelak akan menempelkan sebutan “Binti” ketika aku melangkah ke jenjang pernikahan. Dan Satrio, dia lelaki yang berusaha mati-matian membebat sakit hatiku sejak kepergian Arjuna.

Keringat makin mengisolasi setiap pori-poriku. Bahkan aku merasa ketiakku basah kuyub

Aku mulai sering mengambil nafas panjang-panjang kemudian menghelanya secara kasar. Aku gemas dan cemas, gemas karena sudah hampir satu jam belum juga ada kejelasan mengenai kedatangannya, namun juga cemas, khawatir jika sesuatu yang buruk menimpa dirinya saat perjalanan menuju ke sini.

“Baiklah, ku coba tunggu satu jam kedepan. Mungkin Arjuna, ketiduran, bukankah dari dulu dia adalah laki-laki yang selalu ngaret” batinku. Menenangkan diri sendiri yang risau.

Dan setelah bertoleransi dengan debu dan asap jalanan terminal. Kini aku harus bertoleransi dengan ketiak yang basah.

Demi mantan, yang masih kurindukan.

***

Jam 10, lebih 2 jam

Aku yakin, sekarang ini seluruh lubang pori-pori di tubuhku sudah benar-benar terbuka dengan sempurna. Di tandai dengan mulai lunturnya bedak di wajahku, pudarnya warna lipstick di bibirku, dan lipatan kaos di ketiakku. Ada seperti noda yang membentuk sebuah pulau di sana.

Jika awalnya aku gemas dan cemas atas keterlambatan perjumpaan ini. Maka sekarang aku merasa geram. Geram karena merasa bodoh masih saja mempercayai seorang laki-laki brengsek yang pantas ku sumpahin dan ku umpat mati-matian.

Sebagian orang kerap mengatakan “Jangan terlalu membenci mantan, karena bisa jadi kalian akan kembali bersatu lagi”

“Ah, omong kosong” pekikku.

Apa peduliku pada omongan orang-orang yang hanya pintar berkomentar tapi tidak pintar berempati pada rasa sakitku. Perempuan yang sudah di kerjain habis-habisan. Bahkan keperawanan yang seharusnya ku jaga dengan baik sudah di renggut olehnya.

Memang sich saat kejadian itu, ada unsur suka sama suka. Tetapi ku kira, dengan mempercayai ucapan “Aku akan bertanggungjawab atas apapun yang aku lakukan padamu, Nay” sepertinya menjadi mantra yang ampuh agar aku mau dengan sukahati di setubuhi olehnya.

Aku mengaruk kepalaku yang tidak gatal. Ingatan perihnya kehilangan kegadisan cepat-cepat kusudahi. Karena jika tidak, waktuku akan makin habis menunggunya.

Waktu menunjukan hampir jam 12 siang..tepatnya 11.58.

Dan Arjuna belum datang, atau tepatnya tidak datang.

Kuhela nafasku dengan paksa. Rasa sesal menyeruak di rongga dadaku. Kuputuskan meninggalkan terminal Condong Catur, debu dan asap kendaraan makin membabi buta kadarnya. Sambil menyebrang ku bekap hidup dan mulutku dengan telapak tangan kiri. Sudah cukup dadaku merasakan sesak karena pesan palsu dari Arjuna.

Cepat-cepat ku nyalakan tombol pendingin dalam mobil. Meraih kotak tisu, meletakannya di paha dan mencabutnya acak.

Ku lirik kembali arloji di pergelangan tangan kananku. Tersenyum. Jangan tanyakan maksud dari senyum itu, karena aku pun tidak tahu mengapa tersenyum. Padahal hatiku meradang nanah.

“Klik”

Suara safety belt sepertinya menjadi suara paling indah yang kudengar di siang yang terik ini. Aku tak berharap suara ponselku berbunyi “Klik” pertanda ada pesan masuk.

Ku nyalakan mobil kesayanganku, yang dulu kerap di pinjam Arjuna.

Otakku ku paksa untuk melupakan kejadian hari ini. Kuanggap pesan yang berisi “Tunggu aku, di terminal Condong Catur. Jam 10 pagi” adalah pesan seorang hantu, sesuatu yang gaib. Dan pesan yang berasal dari sesuatu yang gaib adalah sesuatu yang semestinya tidak di percayai sepenuh hati.

Keempat roda mobilku mulai menjauh dari Terminal.

Ketiakku sepertinya mulai merasakan aman dan nyaman, karena kini tak lagi kudapati sebentuk gambar aneh di lipatan kaos hijau yang kukenakan.

Mataku lurus menatap jalanan. Tak lagi kupikirkan perjumpaan dengan mantan yang gagal. Karena sepertinya apa yang kulakukan adalah paling bodoh.

Kiranya mantan adalah sesuatu yang layak di kenang, padahal mantan adalah sesuatu yang sepatutnya di lupakan. Di bekukan pada suhu paling dingin. Dan harapanku, “anunya” pun akan ikut membeku. Agar tak ada lagi perempuan-perempuan yang terhipnotis mantra ucapan manisnya.

***

“Brrrttt..”

Ada yang menyentak-nyentak di paha sebelah kananku. Sebuah semiotika bahwa ada pesan tersampaikan di kotak masuk ponselku.

Kubiarkan saja. Siapapun yang mengirim semiotika itu aku tak peduli. Yang kubutuhkan saat ini hanyalah berada dekat dengan Satrio.

Dan mulai belajar menerima rasa kasihnya padaku. Sudah seharusnya aku bisa membedakan mana masa lalu dan masa depan.

Jakal km 12,5 adalah rute mobilku meluncur. Menuju rumah kost Satrio.

***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline