Lihat ke Halaman Asli

Novianty Elizabeth

Pemerhati Pendidikan

Perempuan dan Buta Aksara

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14265537971983651787

Beberapa bulan lalu ibu saya bercerita telah memperkerjakan seorang asisten rumah tangga  yang usianya sekitar 20 tahunan,  berasal dari purwakarta yang  notabene tidak jauh dari jangkauan ibukota.  Sungguh terkejut saya ketika ibu bercerita bahwa asisten rumah tangganya tersebut buta aksara.  yang membuat prihatin ketika ia mencoba mengikuti menggunakan tehnologi komunikasi  dengan membeli hp dapat dibayangkan bagaimana kesulitannya Ia menggunakan alat tersebut,  apalagi ketika ia berusaha belajar sms dan mengirimkan, maka terkirimlah  huruf-huruh yang tidak berbentuk kata apalagi sebuah  kalimat.

Miris!!  Ia hidup dan bertumbuh kembang  ketika  era reformasi, ketika  awal digaungkan permasalahan, pengalaman, aspirasi dan kebutuhan perempuan di luar persoalan ranah domestik , Isu-isu kritis keadilan, kesetimpangan gender, pendidikan dan feminisme ketika itu  semua isue  mampu terangkat ke permukaan. Dan ternyata ada hal yang terlewatkan pada era reformasi, efuria kebebasan berpendapat tidak dibarengi fakta yang terjadi dilapangan, Ternyata masih banyak perempuan Indonesia yang buta aksara di zaman ini.

Angka buta huruf atau buta aksara untuk perempuan masih cukup tinggi. Menurut data Kementerian Sosial (Kemsos) yang disampaikan oleh Menteri Sosial (Mensos), Khofifah Indar Parawansa ada 12,28% perempuan dalam keadaan buta aksara. Menurut  MDG's (Tujuan Pembangunan Milenium)  angka pendidikan keaksaraan memang cukup bagus. Penduduk Indonesia yang melek huruf sebesar 99,47 persen pada 2010. Namun, angka buta aksara berdasarkan data tersebut penduduk  Indonesia usia di atas 15 tahun sebanyak 6,7 juta. Sebesar 60 persen dari jumlah tersebut adalah perempuan.

Persoalan akan berdampak pada aspek lain. Terutama pada kecerdasan dan life skill. Perempuan yang buta aksara cenderung mudah mengalami tindakan diskriminatif.  Misalkan perdagangan perempuan, atau jika menjadi tenaga kerja pun kurang cakap dan  mudah dimanipulasi. Beda halnya jika perempuan tersebut mampu membaca dan memiliki wawasan yang luas. Di mana pun dia berada akan jauh lebih aman dari tindakan diskriminatif. .

Pendidikan pada perempuan  merupakan syarat utama pembangunan kapabilitas manusia, melalui pendidikan khususnya pendidikan formal kesetaraan gender dapat dicapai seorang perempuan. karena semakin berpotensi mendapatkan akses untuk meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik. Bagi perempuan pendidikan mempunyai dampak yang sangat positif selain bagi dirinya sendiri juga bagi keluarganya dan anak-anak yang dilahirkannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline