Lihat ke Halaman Asli

Novianty Elizabeth

Pemerhati Pendidikan

Selamat Tinggal "Budi" Selamat Datang Pluralisme

Diperbarui: 20 Juni 2015   04:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Di tengah pilpres yang sangat kompetitif tahun ini, saling serang antar dua kubukandidat capres diantaranyaterselip isu sara dan pluralisme, Dan inilah yang membuat saya menjadi teringat tentang wacana pendidikan karakter dan budi pengerti yangsebenarnya sudah di gaungkan sekitar tahun 2010 oleh Kemendiknas, namun entah apa yang menjadi kendala ternyata walaupun pendidikan karakter terus gencar digaungkan dan disebarluaskan kesegala pelosok Indonesia, namun isu sara dan pluralisme tetap saja ada sampai saat ini, malah menjadi lebih krusial dari masa sebelum reformasi.

Ada yang salah dengan pendidikan kita? Masihteringat dan membekas dengan jelas di benak saya masa-masa ketika masih di bangku kelas 1 SD, mulai belajar membaca di sekolah dan pada buku cetak pelajaran bahasa Indonesia, disitulah pertama kali saya berkenalan dengan Budi dan keluarganya .

“Ini Budi, Ini ibu Budi,Ini Bapak Budi, Wati kakak Budi, Iwan adik Budi”

Mungkin lebih dari 30 tahun wacana tentang Budi terus digunakan, sepertinya KementerianPendidikan sebagai pengesah kurikulum dan guru sebagai ujung tombak dan motor pendidikan melakukan pembiaran selama itu. Entah mengapa para pemikir pendidikan dan pemerhati pendidikan juga tidak memiliki ide-ide cemerlang,tentang pendidikan pluralism sejak dini. Sehingga SARA dan Pluralisme hanya menjadi sebuah “cerita” belaka yang hanya menjadi rekreasi sistem pendidikan yang ada. Mungkin bagi siswa sekolah dasar semua hal itu hanyalah sebatas konsep mewah, teori hebat sebatas pengetahuan dan bukan penerapan.

Walaupun saya tidak menyalahkan Budi dan keluarganya yang sering menjadi anekdot cermin pendidikan monoton. Namun saya menyambut baik dalam kurikulum 2013, digantinya tokoh legendaris Budi dengan tokoh baru yang mencerminkan pluralisme dan Nasionalisme. “Ada si Edo yang keriting, itu cerminan Papua. Ada si Siti yang berjilbab, ada si Dayu dari Bali, ada si Lani yang sipit, dia Chinese, ada juga si Beni orang Batak," (http://www.sekolahdasar.net/2014/06/mendikbud-hapus-budi-dari-buku-sekolah-dasar.html)

Kurikulum sejatinya memang harus merespon dengan cepat gejala yang terjadi dalam masyarakat. Menghargai perbedaan bukan sekedar retorika dan konsep belaka tetapi pendidikan karakter sejak dini yang terintegrasi secara nyata pada semua mata pelajaran tetapi yang terpenting adalahimplementasi pada kehidupan lingkungan disekolahdan masyarakat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline