Mendung di Kamis siang, 3 Mei 2018 tidak menghalangi para kompasianer untuk menghadiri Kopiwriting Kompasiana bersama Perum BULOG di Kanawa Caffee and Munch, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Saya, termasuk di dalamnya ikut serta bercengkerama dalam kegiatan tersebut.
Ngobrolin apa sih di situ? Topik yang dibicarakan yaitu "Mengupas Strategi BULOG Perkuat Sektor Komersial", berhubungan erat dengan sejumlah kiprah Perum BULOG di era komersial belakangan tahun terakhir.
Belum banyak diketahui publik, termasuk para citizen journalist bahwa keberadaan BULOG setelah terbitnya Perpres Nomor 48/2016 tentang Penugasan kepada Perusahaan Umum (Perum) BULOG dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional dan PP Nomor 13/2016 tentang Perusahaan Umum (Perum BULOG) yang merupakan AD/ART Perum BULOG, serta semakin dikuranginya penugasan Raskin pada BULOG beberapa tahun terakhir, memberikan pengaruh kuat kepada BULOG untuk bergegas memperkuat sektor komersial meski tetap sebagai BUMN dengan bentuk Perum.
Direktur Komersial Perum BULOG Tri Wahyudi Saleh dalam Kopiwriting tersebut memaparkan kepada kompasianer tentang perjalanan BULOG sejak berdirinya sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) di tahun 1967 hingga tetap eksis sekarang setelah mengalami beragam dinamika.
Mulai tahun 2016, Perum BULOG diberi peran dan tugas oleh Pemerintah RI dalam pengelolaan 12 komoditi pangan pokok. Komoditi tersebut adalah beras, jagung, kedelai, gula, minyak goreng, tepung terigu, bawang merah, cabe, daging sapi, daging ayam ras, dan telur ayam.
Tidak banyak diketahui publik juga bahwa pengelolaan komoditi tersebut menggunakan kredit bank dengan bunga komersial. Tidak ada fasilitas khusus meski mengemban amanat khusus.
Pengelolaan komoditi tersebut sesuai amanat Perpres 48/2016 bertujuan untuk menjaga ketersediaan pangan dan stabilisasi harga pangan pada tingkat konsumen dan produsen. Tak heranlah jika ada kompasianer yang bertanya, apakah saat ini BULOG masih berfungsi sebagai lembaga yang menyerap gabah petani? Ya tentu saja masih!
Setiap tahunnya Perum BULOG masih menyerap sekitar 6-9% dari produksi beras nasional. Beberapa pihak menilai jumlah ini sedikit, tetapi faktanya nilai ini sensitif terhadap gejolak harga dan ketersediaan.
Di manakah fokus Perum BULOG saat ini jadinya? Begitulah pertanyaan berikutnya. Kebingungan para kompasianer wajar adanya. Sebab tugas publik dan komersial itu memang sangat berbeda. Lalu BULOG fokus di mana? Kedua-duanya harus dilaksanakan BULOG.
Pada kenyataannya, kondisi Perum BULOG yang berdiri di dua kaki yaitu kaki publik dalam Public Service Obligation (PSO) dan kaki komersial dalam pengelolaan 12 komoditi pangan pokok, mau tidak mau membuat Perum BULOG harus melakukan strategi agar survive.
Strategi survival BULOG belakangan ini lebih ditekankan untuk memperkuat diri di sektor komersial. Hal ini bukanlah sesuatu yang sederhana. Perjalanan panjang BULOG sebagai lembaga pangan yang mendapatkan privilege dari Pemerintah bukanlah modal yang pas untuk mengembangkan sisi bisnis. Namun, jaringan logistik dan pergudangan yang luas di seluruh Indonesia, menjadi salah satu modal bagi BULOG untuk menapaki era baru yang tidak mungkin dihindari. Era komersial.