Lihat ke Halaman Asli

Novi Ardiani (Opi)

Ibu dua anak yang senang menulis. Mantan dosen dan wartawan yang sekarang bekerja sebagai karyawati BUMN di Jakarta. Ngeblog di www.opiardiani.com. IG @opiardiani. Email: opiardiani@gmail.com.

Cinta Ibu, Cobek, dan Muntu

Diperbarui: 2 Januari 2018   22:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cobek dan muntu terbuat dari batu pegunungan hadiah dari ibuku

Cobek dan muntu yang nampak pada foto di atas usianya sudah lebih dari sebelas tahun. Perangkat mengulek itu hadiah dari ibuku saat kulepas masa lajang.  Seperangkat cobek dan muntu terbuat dari batu, dibeli di pasar Kutoarjo, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah -- tempat kelahiran ibuku. Ibu membelinya saat beliau pulang kampung. "Ini asli dari batu pegunungan, kualitas terbaik, untuk anak gadisku yang akan jadi istri dan ibu," kata ibuku.

Ibu tidak cuma beli satu perangkat, tapi tiga. Anak gadis ibu ada tiga. Ibu menyiapkan satu perangkat masing-masing untuk anak gadisnya. Aku sempat terharu kalau mengingat saat ibu memboyong perangkat mengulek yang berat itu dari kampung ke Jakarta.  Beliau naik kereta api. Subhanallah.  Dan saat itu aku bahkan belum tahu siapa jodohku.

Saat aku menikah di awal tahun 2007, seperangkat cobek dan muntu batu itu resmi diserahkan ibu sebagai hadiah buatku. Ibu berpesan agar merawatnya baik-baik.  "Mencucinya disikat dengan sikat khusus ya, lalu keringkan di dekat kompor agar kering sempurna," pesan ibu. Waktu itu ibu juga menyertakan sikat khusus untuk mencuci cobek dan muntu.  Aku sangat terharu.

Belakangan, setelah pindah rumah mengikuti suamiku, baru aku paham betapa berharganya pemberian ibu.  Cobek-muntu pemberiannya memang barang yahud.  Aku nyaris tidak menemukan yang serupa itu di pasar biasa.  Cobek dan muntu yang terbuat dari batu asli memang jarang ditemui di Jakarta.  Kurawat pemberian ibu baik-baik. Pesan serupa untuk merawat cobek-muntu itu kusampaikan kepada asisten rumah tangga. Demi agar perabot itu awet.

Setiap kali mengulek bumbu masakan, aku selalu jadi ingat ibu.  Ingat masakan ibu yang tidak ada bandingan rasanya. Sudah sebelas tahun aku menikah, aku masih belum bisa membuat sayur lodeh yang rasanya senikmat buatan ibu. Cinta ibuku hadir dalam perangkat cobek dan muntu, setiap hari.  Saat aku mencucinya dengan sikat khusus, selalu ingat ketelatenan ibu merawat segala sesuatu.

Mungkin aku seperti orang gila, tapi aku sering duduk di dapur sambil memandangi cobek dan muntu hadiah dari ibu. Mengelus permukaan cobek yang makin lama makin halus karena sering dipakai, membuatku terkenang pada ibu. Muntunya, pernah dibanting-banting dimainkan oleh anakku yang bungsu.  Ujungnya lalu gompal. Pecah sedikit. Beruntung, pecahannya bisa dipungut.  Dengan susah payah, berhasil dilem kembali.

Waktu mendengar muntu pemberiannya pecah ujungnya, ibuku langsung mengirim muntu baru. Luar biasa, ibu bahkan menyimpan persediaan muntu batu asli buat anaknya. Jadilah aku punya cobek dengan dua muntu. 

Ibu serta merta mengirimi muntu yang baru ketika muntu lama pecah ujungnya

Sekarang, yang sering kupakai adalah muntu yang baru, karena ukurannya sedikit lebih besar.  Lebih nyaman dipakai.  Muntu lama yang sempat dibanting si bungsu dan pecah ujungnya tetap kusimpan. Aku jadi lebih cerewet kepada semua orang di rumah agar hati-hati terhadap cobek-muntu itu.  "Jangan sampai jatuh dan gumpil ya," kataku pada seisi rumah.

Tanpa disadari, lewat hadiah pemberiannya, ibu telah mengajari aku cara merawat, mencintai, dan memiliki. Lewat seperangkat cobek dan muntu. Beliau bukan sekedar memberi hadiah, tetapi menghidupkan cinta dalam perjalanan hidupku di rumah suamiku.

Ibu bagiku adalah pergulatan abadi, inspirasi hidup dan cinta, dan perjalanan panjang pengabdian.  Pada potretnya, terkumpul semua yang kusebut keikhlasan pengorbanan.

Iya, ibuku adalah pergulatan abadi. Dalam benaknya bertempur antara ingin pergi piknik sejenak tapi ditundanya karena tidak sanggup meninggalkan anak-anak yang selalu rindu masakan dan bahkan bau tubuhnya. Dalam benaknya bergulat antara akan membeli sandal baru untuknya atau melupakan sejenak beberapa bulan ke depan.  Uang untuk beli sandal baru, lebih dulu digunakan untuk membeli buku anak-anaknya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline