Kantor keren ngga ada ruang laktasi?..... Kampus megah ngga ada nursery room?...
Pemerintah melalui PP No. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASi Eksklusif telah mengamanatkan seluruh komponen publik agar bersinergi untuk mendukung ibu menyusui bayi dan memompa ASI nya dengan menyediakan ruang laktasi yang layak di ruang publik.
Mulai sekarang, harusnya ngga akan ada lagi busui yang mompa ASi di toilet kantor. Never again!!!
******
Ibu bekerja membutuhkan supporting sistem yang memadai pasca cuti melahirkan selama tiga bulan. Kembali beraktivitas di kantor dengan tambahan amanah yaitu tetap memberikan ASI eksklusif hingga 6 bulan kepada bayi, dan diteruskan hingga 2 tahun, bukan hal yang sederhana. Selain butuh kepercayaan diri yang kuat bahwa setiap ibu mampu menyusui, mampu memompa ASI selama tidak bersama bayi, juga butuh dukungan eksternal dari suami, anggota keluarga, lingkungan kerja dan sekitar.
Walaupun PP No. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif telah mengamanatkan ruang publik untuk menyediakan tempat yang layak bagi ibu untuk menyusui bayi atau memompa ASI, kenyataannya para ibu menyusui masih menghadapi kendala. Di Jakarta, di kantor-kantor yang juga pekerjanya sebagian besar perempuan, belum semuanya peduli menyediakan ruang laktasi yang layak. Masih kita jumpai fenomena karyawati yang memompa ASI di toilet, yang notabene adalah tempat berkumpulnya kuman patogen. Hanya karena tak ada ruang. Percuma saja menggunakan breastpump terbaik jika lokasi memerah ASI tidak higienis. Niat yang kuat dari para ibu bekerja untuk tetap dapat memberikan ASI eksklusif wajib didukung. Bayi yang disusui dengan ASI adalah generasi Indonesia yang lebih baik. Ini butuh support.
Upaya yang bisa kita lakukan adalah menggerakkan hati para pengambil keputusan di ruang-ruang publik (kampus, kantor, mall, dan ruang publik lainnya) untuk menyediakan ruang laktasi yang layak bagi para ibu untuk memompa ASI atau menyusui bayinya. Ruang laktasi yang layak adalah yang bersih, cukup nyaman sehingga membantu ibu rileks dan mendukung kerja hormon oksitosin, dan dilengkapi dengan perlengkapan untuk memompa dan menyimpan ASI perah.
Di kantor tempat saya bekerja, ruang laktasi akhirnya berhasil dibuat setelah perjalanan perjuangan selama satu setengah tahun, melalui volunteer karyawati yang menggunakan wadah keputrian untuk melakukan pendekatan ke manajemen. Walaupun perjalanan panjang masih harus dilakukan untuk membuatnya menjadi layak.
Di kampus tempat saya kuliah sekarang, bahkan tidak ada ruang laktasi. Mahasiswa pascasarjana yang sebagian besar ibu-ibu kantoran seperti saya, dan banyak juga yang masih menyusui, termasuk saya, terpaksa memerah ASI di musholla yang tidak tersekat sempurna dengan tempat laki-laki. Caranya dengan menggunakan kain penutup dan menghadap ke dinding. Kami semua tetap bertekat untuk memberikan yang terbaik bagi bayi kami, dengan pengorbanan apapun. Kami tak habis ide untuk menitip ice gell di freezer koperasi yang buka sampai maghrib, demi ASI perah tetap terjaga kualitasnya.
Menurut saya, jika pemerintah telah menunjukkan kepeduliannya dengan menerbitkan PP No. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif, sudah waktunya seluruh pihak kini bersinergi untuk mendukung ibu menyusui dengan cara mendorong dibangunnya serentak ruang-ruang laktasi di ruang publik. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?........ A journey of thousand miles begin with a single step. Perjalanan menghasilkan generasi Indonesia yang sehat cerdas berkarakter dimulai dengan makanan pertamanya yaitu ASI. Apakah kita tetap akan menutup mata?.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H