Lihat ke Halaman Asli

Komunitas Nias di Tanah Rantau

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14166567815324619

[caption id="attachment_377377" align="alignnone" width="960" caption="Noverius Laoli"][/caption]

Komunitas Masyarakat Nias (Ono Niha) di daerah Sibolga dan sekitarnya sudah ada sejak lama.  Belum ada data yang pasti menceritakan sejak kapan persis ada pergerakan komunitas Ono Niha dari Pulau Nias dan tinggal menetap daerah Sibolga dan sekitarnya. Dari waktu ke waktu jumlah komunitas suku nias ini terus bertambah dan berkembang.

Sebagian besar masyarakat Nias yang berada di Sibolga adalah petani. Mereka umumnya petani karet, bekerja di sawah, dan merambah hutan dan sebagian berprofesi penebang kayu ilegal dan legal untuk dijual. Mereka umumnya bekerja di perusahaan kecil milik orang lain atau kebun milik masyarakat setempat.

Seperti masyarat pada umumnya, Masyarakat Nias yang berada di perantauan mendorong mereka membentuk komunitas sendiri. Komunitas tersebut perlahan-lahan membesar dan menjadi desa. Budaya dan bahasa Nias juga tetap dipertahankan dan diturunkan ke generasi berikutnya.

Mereka menghadirkan adat istiadat di Nias di tempat perantauan yang baru. Kendati begitu, adat dan budaya tersebut sudah disesuaikan dengan budaya dan adat setempat di mana mereka tinggal. Budaya Nias yang dipertahankan tidak sekental ketika masih berada di Pulau Nias. Kemudian sejarah dan cerita tentang Nias tetap dituturkan kepada anak-anak dan cucu-cucu mereka sehingga jati diri sebagai Orang Nias tetap terjaga.

Sebagai salah satu generasi yang lahir di daerah Sibolga, saya mengenal Pulau Nias dan adat istiadatnya dari penuturan orang tua. Kisah-kisah tentang Nias pun masuk ke dalam pikiran saya berdasarkan cerita-cerita orang tua yang kerap mengisahkan kehidupan mereka selam berada di Nias. Cara berpikir saya pun terbentuk masih seperti orang Nias di Pulau Nias.

Ayah saya adalah salah satu generasi Nias di daerah Sibolga yang berprofesi sebagai petani karet. Ia merantau ke Pulau Sumatra yakni di Sibolga pada usia yang sangat belia yakni 12 tahun. Tekanan ekonomi dan kehidupan yang tidak menjanjikan di Nias membuatnya harus meninggalkan pulau kelahirannya.

Sejak kecil Ayah sudah  menjadi anak piatu, dimana ibunya meninggal dunia ketika ia masih sangat kecil berusia kurang dari lima tahun. "Saya tahu wajah ibu saya dari foto yang ada di rumah," ujarnya suatu waktu.

Sementara Ayahnya, seorang pemabuk dan malas kerja. Setiap malam saat pulang dari warung setelah menengguk minuman keras, ia pulang ke rumah dan memukul anak-anaknya tanpa sebab. Kondisi itu membuat Ayah lebih cepat dewasa dari usianya dan memutuskan merantau ke negeri orang.

Di perantauan di daerah Sibolga, di situlah ayah bertemu dengan komunitas masyarakat Nias dan menemukan jodohnya. Kemudian membangun rumah tangga dan tinggal di daerah dimana komunitas orang Nias ada. Daerah itu bernama Desa Lubuk Ampolu. Desa ini berjarak sekitar 25 kilometer dari kota Sibolga. Dan hanya setengah jam perjalanan dari Bandar Udara Dr. Ferdinand Lumban Tobing di Pinang Sori.

[caption id="attachment_377380" align="aligncenter" width="300" caption="Kebun karet di Sitonggi-Tonggi, (12/11/2014), Noverius Laoli"]

1416656926313729737

[/caption]
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline