Selasa (22 Juli 2014) adalah salah satu waktu yang tak kan saya lupakan. Pada tanggal tersebut cita-cita saya menginjakan kaki di Indonesia Timur tercapai sudah. Pertama kalinya di Moloku Kie Raha.
Berawal dari lolos sebagai calon ‘abdi negara’ membuat agenda bulan Juni dan Juli begitu tak terduga Dari pemanggilan untuk pembekalan, magang, lanjut diklat dan kemudian pasca diklat diminta segera lapor ke UPT pada 21 Juli 2014 . Selesai diklat tanggal 18 Juli 2014. Tapi tiket pulang ke Yogya sudah dibeli untuk 19 Juli.
Pengalaman yang lalu-lalu, diantar orang tua sampai bandara sedihnya dobel. Karna selain lebih sedih, orang tua juga bakal lebih repot misalnya saya berangkat dari Solo atau Yogyakarta. Maka saya atur strategi biar orang tua tidak ikut mengantar sampai bandara dengan cara memilih bandara yang jauh sekalian.
Sebelum berangkat dua pesan saya sampaikan ke Ibu: (1) jangan nangis pas saya berangkat dan (2) ikhlaskan kepergian saya. Dan memang pas saya masuk ke mobil travel, saya liat ibu tidak nangis. Memang rasanya pergi jauh kali ini berbeda dengan sebelumnya, modal rasa ikhlas menjadikan saya lebih tenang dan sampai saat ini tidak home sick.
Berangkat dari Sby jam 7 dan sampai di TTE jam 11.45. Kemudian perjalanan dilanjutkan menuju Pelabuhan Kotabaru sekitar 20 menit dari Bandara. Mobil dari Bandara ke Pelabuhan Kotabaru per kepala Rp 75.000,00. Dari pelabuhan Kotabaru ke Sofifi naik speed boat dengan waktu tempuh sekitar 45 menit (pilihlah speed yang bermesin tiga karna lebih cepat daripada yang bermesin dua). Tarif naik speed Rp 50.000,00. Dari pelabuhan sofifi ke Kantor masih sekitar 30 menit (dijemput mobil kantor).
Sampai di kantor sudah sore dan bertemu dengan staf-staf yang belum pulang ke rumah maupun yang belum mudik (saya sampai di kantor kurang dari seminggu sebelum lebaran). Ka. Balai yang sempat pulang balik lagi ke kantor dan menyalami saya, dan berpesan kepada saya bahwa ‘yang ada’ dinikmati saja. Dinikmati dalam arti disyukuri dan cepat adaptasi. Inilah salah satu pesan yang masih melekat dan berusaha saya aplikasikan dimana pun dan keadaan apa pun. Singkat tapi sarat makna.
Cerita dari senior yang membuat saya kaget terkait berita tentang kecelakaan antara dua speed boat pada Senin (21/07) yang menewaskan empat orang. Ya untungnya saya diberi tahu setelah sampai kantor, coba kalau sebelum menyebrang tahu itu info bakalan ciut ini nyali dan memilih naik feri (kalo naik Feri biaya lebih murah tapi waktu tempuh lama, 1.5-2 jam).
Sampai saat ini beberapa kali menyebrang mulai dari ombak yang tenang dengan yang lumayan sudah pernah saya alami. Semoga tak pernah ngalami nyebrang pas ombak lagi ganas…..Bagi saya naik speed adalah saat yang tepat untuk belajar pasrah dan ikhlas.
senja pertama di maluku utara
Pertama kali mengenali lingkungan kantor yang membuat kaget adalah sinyal..!! Saya yang hobi internetan benar-benar mati gaya ketika sinyal akses data di smartphone tarada yang 3G. Mentok2nya EDGE. Untungnya di kantor ada wifi yang bisa dimanfaatkan. Walaupun sinyalnya sering timbul tenggelam. Untuk nelpon saja perlu mencari spot-spot yang sinyalnya bagus, tak jarang buat nelpon saya jalan2 keliling kantor. Bicara soal nelpon, tarif-tarif promo yang banyak ditawarkan di Jawa banyak yang kagak berlaku disini. TM saja saya tarada akses. CM bisa akses tapi tarifnya 4x lipat dengan yang di Jawa.
Transportasi selain speed boat, feri, ada juga dengan angkuta mobil Innova, avanza, dan sejenisnya juga ojek motor dan ojek becak motor. Bensin disini yang eceran mencapai Rp 8.000,00. Memang harga kebutuhan pokok disini jika dibandingkan dengan tempat saya di Jawa ibarat buah kelapa dengan akarnya. Makan standar saja misalnya bisa mencapai tiga kali lipat. Beras Rp 11.000,00, ikan yang lumayan murah, sayuran masak Rp 5.000,00 dapat dikit. Di sekitar kantor langka orang jualan makanan, so kalo mencari makan ya ke Galala/Sofifi (motoran 15-20 menit). Untungnya di kantor banyak tanaman-tanaman sayuran, asal pandai/ mau masak cukup buat menekan cost.
Untuk infrastuktur jalan disini lumayan bagus, utamanya dari pelabuhan ke kantor. Jalan aspal hot mix mulus mirip Gunung Kidul. Ya…kalo dipaksakan tempat yang saya tempati mirip GK. Mulai dari panasnya, dekat laut, juga jalanan yang mulus tadi. Untuk rumah sakit disini yang terdekat adalah ke Ternate (nyebrang laut). Puskesmas hanya ada satu. Rumah sakit ibukota provinsi (katanya) baru tahap pembangunan. So, kesehatan di rantau memang mahal…!! O ya di desa yang saya tempati (secara adminstrasi masih masuk Kota Tidore Kepulauan/Tikep) masuk dalam rencana pemekaran Sofifi sebagai Daerah Otonom Baru (DOB). Namun hingga saat ini proses masih berjalan, so ada sebutan hanya di Maluku Utara Ibukota Provinsi berada di kecamatan. Semoga saja proses Sofifi jadi Ibukota benar-benar segera tuntas agar pembangunan semakin kece dan desa saya tidak sepi lagi.
Diantara hal yang membuat saya betah yaitu pemandangan disini benar-benar spektakuler. Mulai dari pantai, laut, gunung, dan langitnya. Kalau lagi suntuk cukup jalan tarada 2 menit dari gerbang kantor sudah sampai pantai. Pernah dalam seminggu empat kali ke Kantor Gubernur karna view dari Kantor Gubernur benar-benar mantap.
view ternate tidore
Di Maluku Utara-lah untuk pertama kalinya bisa ikut open house dengan Gubernur. Waktu itu malam hari lebaran pertama dengan rekan-rekan kantor ke rumah dinas beliau. Beliau benar-benar tawadhu, saat mau makan saja, beliaulah yang mengambilkan piring buat saya.
Bicara tentang lebaran, lebaran kemarin adalah lebaran kedua dirantau. Tapi yang kemarin serasa lebaran di kampung halaman. Sebab suasana keakraban nan cair begitu terasa baik dengan sesama rekan kantor juga dengan tokoh masyarakat di sekitar kantor. Aneka makanan saya coba, salah satunya lapis tidore. Sudah kenyang dengan camilan dan makan besar tapi ‘dipaksa’ untuk mencicipi lapis tidore dengan dalih biar betah dan kerasan disini.
Hal-hal yang ‘tidak enak’ yang saya sebut diatas pada dasarnya adalah hal-hal yang saya antipasti pas zaman kuliah. Ya dulu antipati tapi sekarang malah mengalami. Mengeluh memang tak kan menyelesaikan masalah. Saya berusaha menikmati sebagaimana pesan yang disampiakan Ka. Balai. Bagaimana pun juga jalan hidup saya ada disini. Karanganyar, Jogja, dan Jawa biarlah jadi kenangan. Sekarang dan masa depan ada di Maluku Utara. Saya anggap ‘hambatan-hambatan’ yang ada sebagai tantangan dan gemblengan. Karna tak ada orang hebat tanpa gemblengan yang hebat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H