Lihat ke Halaman Asli

Novendra Cahyo N.

Numpang kerja di Halmahera

Semua Akan (p)Indah Pada Waktunya

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1422603581893296949

Diwiwiti kanti syukur, dibukak kanthi niat lan pangarep-arepan sing apik, mugo2 nggawa berkat lan kebak manfaat #paedah_soko_presentasi

Awal Januari kemarin saya bersama rekan-rekan berkesempatan jalan-jalan ke Halmahera Utara. Singkat cerita setelah pamit ke rumah petani yang kami dampingi kami melanjutkan perjalanan ke sebuah museum -sebenarnya lebih tepat disebut gubuk yang terbuat dari papan-papan yang berisi koleksi peninggalan zaman perang yang terletak di tepi Telaga Duma/ Galela. Saya kira kami bakal langsung pulang setelah dari museum, eh berhubung ada penduduk lokal yang ikut maka kami pun bergerak ke tempat jejak Kristen pertama kali turun di Maluku Utara.

[caption id="attachment_394055" align="aligncenter" width="300" caption="ilustrasi: DP Mas Slamet"][/caption]

Nah setelah rasa penasaran hilang ditempat tersebut, lagi-lagi saya rasa kami bakal langsung balik. Eh ndilalah kawan-kawan mengajak ke Bandara Gamar Malamo dengan tujuan utama BMKG (Stasiun Metereologi/StaMet) yang memang letaknya di situ. Dengan dalih bakal nanya prosedur request data iklim ke StaMet akhirnya kami diterima oleh seorang staf yang seumuran tapi selisih dua tahun dengan saya. Singkat cerita setelah perkenalan maksud dan tujuan serta ngobrol dikit saya dan kawan pamit pulang (lebih tepatnya ‘dipaksa’ untuk segera pulang karena kawan saya yang orang lokal ada keperluan lain).

Ya dari informasi yang didapat staf yang menemui kami tersebut ternyata satu-satunya wanita disitu. Saya salut pada si mbak tersebut yang walau pun ‘sendiri’ tapi benar-benar menikmati ‘keadaannya’. Ya walau pun dia disitu ada Bapaknya (yang juga Kepala StaMet disitu), tetapi tetap angkat topi juga terhadapnya. Lokasi kerjanya bisa dibilang lebih terpencil daripada saya walaupun dekat dengan bandara. Tempatnya pun pinggiran desa dan jauh dari warung atau toko. Ya intinya pertemuan singkat tersebut sebagai tamparan dan cambuk bagi saya agar lebih menikmati lokasi kerja.

Pertemuan tersebut juga semakin mempertajam nasehat dari Ka. Balai saat pertama kali bertemu bahwa apa yang ada dinikmati saja. Dinikmati itu pokoknya terdiri dari disyukuri dan (dimana pun) cepat beradaptasi (dengan segala hal yang ada: hal baru, unik, dsb). Kata Pak Ageng pula: tidak ada tempat yang tidak enak setelah bersyukur.

-------------------------------

Memang sih sebagai pegawai baru bahasan ‘mutasi’ itu sensitif tapi kadang sering dijadikan bahan guyonan utamanya dengan senior. Secara normal aturan untuk mutasi tidak mudah: mulai dari rumus mutasi, harus sudah ada kontribusi, dll. Jadi biar pun nangis darah tapi belum waktunya tetap kagak bakal dimutasi (ditakut-takuti senior J ). Tapi ya ada pengecualian juga misalnya karena sakit-sakitan, menikah kemudian ikut suami, maupun faktor institusi (masing-masing institusi ada aturan tersendiri kan). Ada juga kawannya kawan saya yang belum dua tahun dimutasi dari Sulawesi ke Semarang. Tapi ingatlah asal prestasi kerja melejit bukan tidak mungkin pindah ‘sebelum waktunya’. Ya jangan dikira orang-orang ‘disana’ menutup mata terhadap apa yang dikerjakan di daerah. Orang-orang berpotensi berhak mendapatkan tempat yang lebih layak secara peluang dan tantangan.

Tak bisa dipungkiri-lah orang-orang barat (Jawa) normalnya bila kerja di Timur berharap mutasi ke barat. Kalau saya pribadi masih berusaha sekali lagi berusaha untuk komitmen terhadap 2n+1 sebagai ‘syarat’ mutasi. Jangan pernah coba-coba minta mutasi diwaktu menjadi ‘orang baru’. Kenapa? Karena itu bisa mengganggu sistem. Pernah ada cerita juga ‘pelanggar’ sistem dikabulkan mutasinya tapi ditempat yang baru malah non-job. (waduhhh....). Jelas kalau kita terbutakan oleh mutasi bisa-bisa kerja kagak bakal fokus (Ya bagus lah kalau misalnya dibutakan mutasi malah jadi termotivasi untuk berkinerja lebih baik).

-------------------------------

Berada di Indonesia Timur atau daerah terpencil lainnya itu ada plus dan minusnya. Plusnya diantaranya terkait karir. Di Timur masih minim jumlah SDM sehingga antrian diklat fungsional biasanya relatif lebih sedikit daripada di Indonesia Barat (UPT yang gemuk SDM-nya). Selain itu konon kesempatan untuk segera lanjut studi atau disekolahkan semakin besar (disekolahkan beneran bukan SK-nya yang disekolahkan). Ya karena antrian sekolahnya lebih sedikit daripada UPT yang gemuk yang biasanya di Indonesia Barat.

Selain itu UPT yang ‘kurang’ SDM biasanya pekerjaan itu kagak usah dicari-cari tapi tinggal dieksekusi. Maksudnya ‘beban’ pekerjaan itu baaaanyak. Makanya tak heran di Timur itu dituntut untuk multitasking. Soalnya selain disibukan degan urusan pengkajian/penelitian juga urusan fungsional, struktural, bahkan administrasi. Ya tak dipungkiri lagi lah pekerjaan administrasi berupa pelaporan duit yang dipake itu ternyata ‘menyita’ banyak waktu.

Bahkan kemarin boss sempat ‘nantang’ siapa yang merasa kurang banyak mendapatkan kegiatan tahun 2015 silahkan ‘minta’. Ya jelas kagak ada yang berani minta-lah. Kalau mau ngurangin ada, tapi disepakati minta tambah boleh tapi kalau minta dikurangin jangan. Jadi kalau sampai ‘nganggur’ dengan alasan kagak ada kerjaan itu ya ‘kasian’. Apalagi kalau-kalau terjadi kerja cuma absen doang.

Kalau kerjaan kita sendiri sudah kelar bisa ngerjain kerjaan kantor lainnya atau bantu orang lain. Tapi sebenarnya pekerjaan itu kalau dikerjakan tidak akan ada habisnya, karena apa? Karena pekerjaan itu ada lebih dahulu (lebih tua) daripada kita juga pekerjaan tersebut ‘usianya’ lebih panjang daripada kita.

Bukannya apa-apa, jadi pegawai baru itu harus proaktif, mau berbaur, plus yang penting mau belajar. Ya cara belajarnya dengan membantu kawan-kawan senior (terutama buat orang baru yang ‘belum’ menjadi penanggungjawab kegiatan). Dirantau itu kita awalnya gak punya siapa-siapa (selain Tuhan) dan yang paling berhak didekati adalah rekan kerja sekantor, instansi lain, dan masyarakat. Maka kenikmatan kerja di rantauan itu nambah jaringan. Kan lumayan misalnya suatu saat jalan-jalan dan biar ngirit ya numpang ditempat kenalan.

Banyak jaringan tidak hanya bakal dapat kemudahan duniawi tapi juga doa. Tidak sedikit ketika nelpon orang-orang terselip harapan dan doa (saling mendoakan) agar mendapat yang lebih baik, sukses, barokah, dll. Makanya jaringan perlu dipelihara, salah satunya secara berkala menelpon/ sekedar sms buat ‘say hello’. Sepele tapi penting. Tidak cuma kepada orang yang baru dikenal tapi juga kawan lama. Sebab terkadang yang bisa menguatkan kita dirantau itu adalah seseorang/ orang-orang yang sama-sama merantau :D

Bukan rahasia lagi di Timur itu langit dan lautnya kece. Maka ya itu salah satu poin plus di Timur atau daerah terpencil lainnya ya pemandangan yang amazing. Bayangkan ketika kita ada kerjaan di suatu tempat yang ternyata di tempat tersebut ada yang menarik. Bukankah ini yang disebut bekerja sambil dolan? Nah....

Ya memang tak dapat dipungkiri pula ada sisi-sisi kelam di rantau. Dari mulai infrastruktur dan transportasi yang kurang sip sehingga memicu mahalnya harga sembako. Kemudian jauh dari keluarga dan kalau pun pulang perlu biaya yang tak sedikit serta yang lainnya.

Tapi ingatlah bahwa hal-hal yang ‘kelam’ itu kalau direnungkan bakal tertutupi oleh hal-hal yang menarik, kalau mampu mengolahnya sih. Ya kalau pun sering mati lampu bukankah itu waktu yang paling tepat buat ‘merenung’ (halah). Ketika jalanan jelek bukankah waktu yang tepat buat mensyukuri keadaan ketika dulu atau kelak dapat jalanan yang bagus. Bukankah kalau jarang pulang itu adalah kesempatan untuk melakukan quality time ketika pulang kelak? Pertemuan yang lebih berkesan dan bermana.

Ada juga mungkin yang ngeluh kerja di Timur tidak dapat atau kecil nilai tunjangan daerahnya. Ah sudahlah....rejeki sudah ada yang ngatur. Bisa jadi bila kita di Jawa rejeki cuma X tapi kalau di Timur jadi X+1. Tanamkan idealisme bahwa kerja itu bukan persoalan penghargaan yang dinilai oleh nominal, tapi juga kepuasan dan ‘pengabdian’. Ah munafik....mungkin ada yang bilang begitu. Ah biar sudah tapi coba pikirkan kalau tujuan kita cuma gaji/ uang saya jamin kagak bakal pernah puas apalagi bersyukur. Yang ada cuma kurang dan kurang. Bisa jadi cukupnya ketika tanah memenuhi mulutnya (baca: mati).

Idealisme kerja itu penting. Salah satunya dengan cintai pekerjaan. Kata ‘suhu’ saya cinta pekerjaan itu rasa dimana kita selalu berusaha yang terbaik dengan niat ibadah. Elemen cinta pekerjaan salah satunya adalah tanggungjawab. Dulu saya juga diberitahu dosen saya yang diberitahu oleh dosennya juga. Intinya bahwa jangan terlalu memikir aku dapat apa tapi pikirkan/ tanamkan saya harus berbuat terbaik. Karena uang akan datang sendiri kalau kita berbuat terbaik.

Cak Lontong juga berpesan siapa yang mencintai pekerjaan dengan dedikasi tinggi In sya Allah pekerjaan kita akan memberikan buah yang manis kepada kita (Salam lemper). Yang tak kalah pentingnya adalah ikhlas. Bila ikhlas, sabar, dan syukur bergabung bakal jadi elemen yang kuat buat cinta pada pekerjaan. O ya ada nasehat juga yang sampai ke saya bahwa sesegera mungkin punya identitas diri, punya pedapat pribadi, jangan mau didekte, jangan pernah merasa hebat, dan tak segan bantu sesama.

Mungkin ada juga yang beranggapan kerja di daerah terpencil menyulitkan jodoh. Ah siapa bilang? Justru itu hikmahnya kelak adalah ketika ada orang yang mau dengan kamu itu berarti sosok pilihan (dipilihkan oleh Tuhan) untuk menemanimu di rantau dengan kondisi ‘minimum’ (susah). Bukankah orang yang paling baik dijadikan pasangan adalah orang yang mau menerima kamu dalam kondisi yang belum sukses (anggap di Timur belum sukses karna sukses itu mutasi ke Barat..... J ). Bersabarlah untuk menunggu orang yang tidak hanya ‘baik’ tapi juga tepat. Banyak orang baik tapi belum tentu tepat (tsaah). Ada staf yang pas masuk belum berkeluarga eh tapi seiring berjalannya waktu dia ndak dapat orang Jawa tapi orang Ambon yang kerja di Ternate. Ya paling gak ketika berjodoh dengan ‘orang lokal’ atau ‘orang yang sudah dilokalkan’ itu jadi lebih survive terhadap kondisi ditempat tersebut.

Memang faktor keluarga itu sedikit banyak berpengaruh terhadap keinginan untuk mutasi. Terutama disaat awal-awal penempatan (berdasarkan hasil pengamatan). Karena bagaimana pun dekat dengan keluarga itu menjadikan adanya rasa aman secara psikologis. Maka tak heran ada saran ketika AKAN ditempatkan ditempat yang jauh dan masih jomblo sebaiknya nikah dan bawa keluarga (suami/istri) ke sana. Ya sekali lagi biar nyaman dan aman secara psikologis di rantau. Sebab tidak semua orang apalagi wanita itu mudah beradaptasi dengan lingkungannya, sehingga faktor teman hidup itu penting. Tapi sekali lagi ini kembali ke masing-masing pribadi.

Ada juga yang tidak segera nikah tapi enjoy saja dirantau. Kuncinya yang membaur secara sosial dengan rekan kerja. Karena kalau dirantau itu ada apa-apa yang paling ‘dekat’ ya kawan-kawan kita. Bagaimana coba kalau terjadi sesuatu tapi dengan teman sekantor saja jauh/ ada jarak?

Bisa jadi pula ada orang yang ingin mencari saja ‘batu bacan’ atau mutiara lokal di tempat dia bekerja. Ya yang namanya jodoh itu gak bakal ketuker tapi kalo ketikung mungkin (?). Tapi tenanglah buat para jomblo di rantau, ‘kesendirian’ kalian itu adalah kesempatan buat ‘show your capability’ (jare kancaku). Ya gak ada tanggungan dimaknai saja kesempatan buat mengaktualisasi diri lebih besar. Tapi bukan berarti yang punya pasangan tidak dapat mengaktualisasi diri lebih besar. Sekali lagi kembali ke masing-masing pribadi menilai dan mengambil hikmahnya. Ya sudah berkeluarga malah ‘nilai’ kerjaya untuk ibadah lebih besar tho (logat Ternate).

Btw soal keluarga memang gak murah nominal yang dikeluarkan bila pulang kampung. Ya ada kawan saya yang kasarannya sekali jalan minim 3 juta, padahal personel keluarganya ada 5. Itu sekali jalan belum lagi pp, dan ongkos atau biaya selama di kampung halaman. Itulah mengapa tidak mungkin sering kali pulang. Tapi kuncinya tetap mensyukuri. Gak masalah keluar banyak uang asal bisa bersua dengan keluarga (kata kawan saya). Sekali lagi rejeki itu sudah ada yang ngatur, uang seberapun besarnya kalau sudah rejeki gak bakal kemana. Sebaliknya, kalau bukan rejeki uang sekecil apa pun ya kagak bakal mampir.

Terakhir, terkadang rasa bosan, kangen dengan keluarga, marahan dengan rekan kerja, tidak suka dengan sistem yang ada membuat diri atau dorongan untuk tidak betah. Tapi ingatlah jika tidak betah dan ada perasaan ingin keluar (mutasi) ingat-ingatlah hal yang bisa membuat bertahan. Entah itu senyum murah dari sekretaris, sapaan dari seseorang, adanya kawan yang care, birunya langit, kicauan burung, senyuman tulus anak-anak lokal, bahkan aroma rumput yang baru dipotong. Saya yakin pasti ada hal-hal kecil tapi banyak yang masih membuat kita terkesan dan bertahan. Ingatlah bisa jadi alasan untuk membenci atau meninggalkan suatu tempat tapi bukan tidak mungkin lebih banyak alasan yang membuat kita harus bertahan.

(Bukan bermaksud menggurui tapi cuma berbagi dan menasehati diri sendiri).

Hujan deras, Kusu, 29-01-2015 jam 21.37 LT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline