Ayah, kata yang selalu mengingatkanku pada sosok lelaki yang penuh tanggung jawab, seperti matahari dalam hidupku, seperti hujan yang begitu indah terpaan rintiknya, begitu bumi mencintai terpaannya, begitu hangat dalam dekapannya. Ayah adalah sosok yang sangat gigih dalam bekerja, mencari nafkah untuk biaya hidup kami. Sosok yang menopang hidupku menjadi lebih kuat. Dia lah yang mempertahankan aku dari bangku sekolah dasar hingga aku menggenggam almamater ini.Begitu banyak hal yang kami lalui bersama menuju hari ini, bahkan kegagalan bertubi-tubi menjadi hasil terpahit setiap usaha yang kulakukan meraih cita-citaku. Dia selalu ada di sampingku, di hatiku, dan setiap desah nafasku, hingga suatu hari yang begitu pahit yang harus kami jalani selam hidupku. Ayah pergi, dia pergi menyisakan jutaan air mata dan tanya.
Hidupku tertekan oleh banyak hal, memilih melanjutkan kuliah dan meninggalkan Ibu di kampung sendiri membiayai hidup kami atau tetap di sini menemani Ibu. Rasanya tubuhku sedang berjalan menitih jembatan siratalmustaqim. Tidak mungkin aku meninggalkan Ibu dalam keadaan seperti ini, aku tidak mau menjadi manusia yang begitu mengagungkan kemauannya daripada menemani Ibu. Jika kulakukan itu maka durhakalah aku sebagai anak.
Selama sepekan tidak ada yang menduduki kursi Ayah, hanya aku, Ibu, dan adikku. Kulihat Ibu begitu lelah, matanya berkaca-kaca memandang kursi Ayah. Melihatnya seperti tidak ada selera untuk hidup. Namun, aku selalu memberinya semangat, bahwa Ayah tidak sungguh-sungguh meninggalkan kita. Aku yakin dia akan kembali, dan pasti akan kembali, dia sangat menyayangi kita. Aku memeluk Ibu begitu erat, air mata ini tak mampu kubendung lagi, sementara adikku Abrar pun ikut menangis dalam pelukan Ibu, dan kami larut dalam kesedihan yang mendalam.
***
Hari ini adalah hari terakhir pendaftaran mahasiswa baru, kutatap amplop coklat diatas meja belajarku. Kubuka dan kubaca perlahan, sambil air mataku meleleh membasahi surat pemberitahuan, yang menyatakan bahwa aku lulus sebagai mahasiswa kedokteran di salah satu universitas swasta di Batam. Surat ini telah ada tiga hari sebelum Ayah pergi. Aku belum sempat mengatakannya, karena melihat kondisi keluarga kami tidak memungkinkan untuk aku melanjutkan kuliah, apalagi dengan biaya yang begitu besar.
***
Ya Allah, kumohon kembalikan dia yangtelah pergi.
Begitulah doa yang selalu kupanjatkan setiap sujud malamku bersama Ibu. Kami selalu larut dalam doa di sepertiga malam. Hingga Akhirnya Allah mengijabah doa kami.
Ayah kembali. Dia kembali membawa secercah harapan untuk kami, terkhusus untukku.
Akhirnya, Allah mengembalikan yang sesungguhnya akan tetap di sini. Mungkin Allah sedang menguji keikhlasanku melepaskan cita-citaku. Dan Alhamdulillah, dia membalasnya dengan kepulangan Ayah. Ibu kembali mekar semerah bunga mawar.
“Besok ada yang akan terbang ke Batam.” Ucap Ayah ketika kami berkumpul di ruang tengah.
Aku terkejut.
“Liburan ya, Yah?” tanya adikku sambil kegirangan.
“Bukan, Nak. Kan sebentar lagi ada yang mau jadi dokter.” Jawab Ayah sembari melirikku.
Aku kembali terkejut. Kurasakan detak jantungku begitu cepat. Kuhampiri Ayah dan Ibu yang tengah duduk berdua di sofa.
“Beneran, Yah? Sarni boleh kuliah?” tanyaku sambil duduk diapit Ayah dan Ibu.
“Iya, akan Ayah lakukan apapun itu demi anak-anak Ayah.” Ucapan Ayah begitu meyakinkanku bahwa Allah selalu bersama orang yang sabar dan ikhlas menjalani hidupnya.
Ayah menyodorkan amplop putih berisi kertas yang bertuliskan tiket penerbangan Jambi-Batam.
Ayah, tak kusangka jika kepergiannya yang membuat setengah hidupku mati rasa, ternyata dia mempersiapkan segalanya yang terbaik untukku, bahkan Ibu tidak tahu. Karena waktu itu Ibu tidak menyetujui aku melanjutkan kuliah. Kerana kegigihan dan rasa tanggung jawab terhadap keluarganya, akhirnya Ayahmempertahankan cita-citaku memiliki stetoskop.
“Untuk apa Ayah bekerja banting tulang kalau bukan untuk masa depan anak-anak Ayah, jadi Sarni harus janji selalu melakukan yang terbaik untuk keluarga.” Begitulah ucapannya sebelum aku masuk ke kabin pesawat.
“Jadilah dokter yang berhati malaikat, Anakku.” Ucapnya sambil mencium keningku.
Air mata kami bertemu pada satu titik.
***
Ayah, aku telah berdiri di tempat yang telah kau perjuangkan untukku, di kota ini aku akan menuntaskan mimpiku. Dan kupersembahkan stetoskop ini untuk Ayah.
Aku menyayangi Ayah dan Ibu karena Allah SWT.
Tulisan ini kupersembahkan untuk Ayahanda Terkasih
Negeri Balerang, 14 Februari 2013.
Kamar 5, Asrama UNIBA tercinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H