Pengumpulan sampah dari Rumah Tangga (RT) sampai ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) di Indonesia hanya 39 % (sampai di TPA), dan tingkat prosentase kegiatan 3 R (Reduce, Reuse dan Recycle) di Indonesia tidak sampai 15 %. Hal ini telah menjadi perhatian semua bahwa Pemerintah Kabupaten / Kota di Indonesia kewalahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik di bidang persampahan. Perlu upaya nyata untuk hal ini, peraturan kelembagaan serta bantuan keuangan langsung yang mendukung untuk kelembagaan di kabupaten / kota perlu amat didorong. Juga, sangat perlu dibantu lembaga community based of waste management yang sudah banyak di Indonesia.
Kebutuhan pelayanan publik untuk persampahan menurut Undang-Undang / UU yang berlaku (UU Pemerintahan Daerah, UU Desa dan UU Persampahan, serta turunan Peraturan Pemerintahan (PP) nya) mensyaratkan dua (2) pengelolaannya (secara legalitas dan prakteknya), yaitu: pada level Kabupaten dan Kota (saya sebut dengan Institutionalized Based of Waste Management/IBWM) serta pada Desa (Kelurahan - hanya secara prakteknya), saya sebut dengan Community Based of Waste Management/CBWM.
Selain dari aspek legalitas di level desa (dan juga kelurahan), aspek mata-pencaharian/penghidupan (livelihood) juga menjadi faktor kenapa UU dan PP Persampahan mengakomodir ini.
Kedua-duanya (IBWM dan CBWM) tidak bisa berdiri sendiri, dan perlu penunjang, baik dari tingkatan atas pemerintahan (Provinsi dan Pemerintah Pusat), ataupun bahkan keduanya-duanya melakukan kerjasama dengan pihak kedua (partnership/cooperation) guna mendapatkan bantuan keuangan untuk capital & operational expenditure, serta alih teknologi dan kepengetahuan untuk pelayanan persampahan di masing-masing level tingkatan dapat terlaksana dengan maksimal.
Perihal bantuan keuangan untuk CBWM, sudah menjadi mafum kalau pendanaan untuk Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten dan Kota jauh dari layak untuk menjangkau pelayanan persampahan sampai ke RT.
Seperti penulis temukan, contoh kasus di dua kabupaten di Pulau Jawa (katakanlah Kabupaten X dan Y), yang mana alokasi anggaran untuk Bidang Persampahan, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten X masing-masing sebesar Rp. 15,920,693,400 dari total APBD Rp. 3,009,735,889,319 di 2018. Figure ini menggambarkan bahwa pendanaan untuk Bidang Persampahan itu kurang dari 1%, yaitu. Sementara itu untuk anggara tahun 2020, Bidang Persampahan DLH Kabupaten X mendapatkan Rp. 11,804,600,000 dari total APBD 3,375,475,921,934 yang diprosentase hanya 1%.
Untuk Kabupaten Y, di tahun 2018, Bidang Persampahan DLH nya mendapat Rp. 14,396,956,228 dari total APBD Rp. 3,166,461,394,537 (kurang dari 1 %).
Dengan jumlah penduduk 1.6 juta (BPS 2014) di Kabupaten X, maka rata-rata penduduk mendapatkan pelayanan persampahan Rp 9,950.43 di 2018 dan Rp 7,377.88 di tahun 2020. Sedangkan Kabupaten Y di tahun 2018 dengan jumlah penduduk 1.6 juta (2017), maka perkapita penduduknya per tahun mendapatkan pelayanan persampahan sebesar Rp. 8,968.
Melihat kondisi minimnya kapasitas fiskal Bidang Persampahan, Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten seperti contoh diatas, maka ini akan berimbas pada cakupan layanan (baik fungsi/kegiatan dan coverage). Untuk itu, terobosan-terobosan dramatis untuk mendukung aturan lanjutan perlu amat segera dibuat.
Memudahkan pembentukan kelembagaan seperti BLUD pada level Dinas / SKPD, atau pun bentuk gabungan kerjasama dengan pihak non-pemerintah (BUMD, swasta, dlsb) menjadi sine qua non (keharusan). Selain itu, dari sisi mekanisme pendanaan, sebaiknya instrumen fiskal dari pusat seperti DAK, DID, Dekonsentrasi, dllnya (juga dari Provinsi), sangat diharapkan tidak melalui proses birokrasi yang as usual (berbelit-belit).