Lihat ke Halaman Asli

Beginilah Mata Rantai Kehidupan Anak Buruh Migran Transnasional di Indonesia

Diperbarui: 22 April 2019   00:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Medcom.id 

Didedikasikan untuk hari Buruh

Sejak terjadinya krisis moneter pada akhir tahun 1997 membuat banyak warga Negara Indonesia berduyun-duyun ke negeri seberang untuk mencari nafkah sebagai buruh migrant atau tenaga kerja Indonesia (TKI). Terdapat dua tipe buruh pekerja migrant. 

Yang pertama, pekerja migrant internal yang pekerjanya bermigrasi dalam satu wilayah Negara seperti tranmigrasi di Indonesia, sedangkan pekerja migrant internasional adalah seseorang yang bermigrasi keluar negeri untuk keperluan bekerja. Pekerja migrant seperti ini seringkali disebut sebagai buruh migran. Jumlah buruh migran internasional jauh memiliki jumlah yang lebih tinggi disbanding jumlah buruh migrant internal. 

Dimualai terjadinya krisis moneter pada saat itu, jumlah buruh migrant Indonesia atau TKI luar negeri mengalami peningkatan yang signifikan setiap tahunya. Tercatat setiap tahun lebih dari empat ratus ribu warga Negara Indonesia berangkat keluar negeri untuk bekerja.  BNP2TKI mencatat setidaknya terdapat 6,5 juta jumlah TKI yang bekerja di 142 negara. 

Buruh migrant yang bekerja diluar negeri mayoritas berasal dari keluarga petani pedesaan. Dari survey yang dilakukan sebanyak 62% keluarga petani. Namun, ketika bertani tidak lagi mencukupi kebutuhan seluruh keluarga ditambah lapangan kerja yang kompetitif, maka akhirnya satu atau dua diantara mereka terpaksa bermigrasi keluar negeri menjadi TKI.

 Mayoritas dari buruh migran sudah berkeluarga. Sehingga tidak jarang anak-anak mereka yang ditinggalkan salah satu atau dua orang tuanya, akan dititipkan pada nenek atau sanak saudara terdekat dalam jangka waktu beberapa tahun hingga orang tua mereka kembali ke Indonesia. Kebanyakan anak buruh migran kurang mendapat perhatian khusus terkait masalah spiritual bahkan ajaran nilai-nilai cinta tanah air selain di bangku sekolah. 

Sehingga banyak terjadi di masyarakat, ketika anak tersebut dewasa akan mengikuti jejak kedua orang tua sebagai TKI, hal ini karena terjadi kontruksi sosial sebagai anggapan bahwa bekerja diluar negeri pasti cepat dapat uang banyak seperti orang tua seblumnya, selian itu juga karena salah pemahaman terkait makna patriotis yang selama ini diartikan bahwa TKI menjadi salah satu penyumbang devisa Negara terbesar.seperti kasus di desa Wonosobo Lombok Timur. 

Terdapat 350 lebih anak buruh migrant sehingga terjadi problematika yakni terjadi pernikahan dini rentang usia 16 usia perempuan dan 19 untuk usia laki-laki. Disesa tersebut terjadi sekitar 136 anak dan 100 pasang diantaranya anak buruh migrant yang melangsungkan pernikahan. Akhirnya terjadi siklus ideologi untuk berkeja diluar negeri seperti orang tua mereka. Refleksi terkait bekerja di luar wilayah sendiri sebenarnya sudah terjadi sejak zaman Nabi Yusuf pasca di buang oleh saudara-saudaranya di sumur.

Terkait hal ini, masyarakat khususnya anak buruh migrant yang rentan problematikan mental, dituntut untuk terus menerus melakukan revolusi dalam segala bidang. Bukan hanya perubahan pada hal yang sifatnya fisik saja, namun juga terkait masalah mental yang terus memiliki kemauan untuk maju serta mental patriotis atau cinta tanah air. Hal ini bertujuan meningkatkan kualitas pribadi untuk mempengaruhi kualitas bangsa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline