Belajar adalah hak setiap individu yang harus diberikan, tak peduli suku, agama, ras dan apapun latar belakangnya. Miskin, kaya, darah biru, kaum alit harus mendapatkan hak yang setara. Tapi nyatanya, pendidikan bukan barang yang murah. Menjadi mimpi anak-anak pesisir, anak-anak gunung, anak-anak pulau terluar dan terpencil.
Belajar memang seringkali dilekatkan dengan pendidikan. Ia menjadi satu padu. Walau sejatinya pendidikan dan belajar sebuah rangkaian. Ia hadir kala keduanya kawin dan melahirkan sebuah kemanfaatan.
Pendidikan di Indonesia seperti barang mewah yang tidak semuanya bisa menikmati. Walau begitu kuat upaya pemerintah menjalankan pendidikan 9 tahun lalu pendidikan 12 tahun. Anak-anak di Indonesia belum semuanya bisa menikmati.
Tak perlu mengambil contoh nun jauh di Papua, NTT, Maluku atau wilayah terluar, terpencil, dan terlupakan. Di sekitar kita, di tengah kota besar, masih ada anak-anak yang tidak menikmati pendidikan. Putus sekolah dengan alasan klasik: ekonomi susah mencengkeram.
Lalu lahirlah pendidikan nonformal, lahir dari rahim alternatif pendidikan formal. Ia digadang-gadang menjadi jalan keluar pragmatis sekaligus praktis untuk anak-anak yang putus sekolah atau anak-anak yang tidak bisa mengikuti pendidikan formal.
Tentu tak ada curiga, pendidikan nonformal lalu bangkit dengan tertatih tatih, dana terbatas, dilihat sebelah mata. Tapi uniknya ada yang berjuang tanpa dibayar, tanpa pamrih, melawan dengan niat ikhlas.
Berjuang di Jalan Sunyi
Sekelompok anak-anak muda mengumpulkan buku-buku bekas, lewat sosial media, mereka menawarkan sebuah harapan. Pojok baca sederhana berdiri di sebuah dusun terpencil. anak-anak kecil sibuk berebut buku, mengejanya dengan senyum mengembang.
Saya pernah menulis khusus tentang kiprah seorang anak muda dari Kota Palu, di sebuah tempat bernama Ulujadi. Di Tahun 2018 saya pernah tinggal hampir dua bulan pasca gempa besar yang diikuti tsunami dan likuifaksi.
Namanya Surya Dharma, ia dan istrinya membangun sebuah harapan bagi anak-anak sekitar yang putus sekolah, rata-rata anak-anak ini menjadi buruh kasar sekadar memenuhi kebutuhan dasar, makan minum dan sedikit untuk kebutuhan lainnya.
Surya Dharma mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). latar belakang profesinya sebagai guru, membuatnya memutar otak agar bisa menerima anak-anak yang terlanjur putus sekolah.
Dari teras rumah yang tidak seberapa luas, 2011 adalah tahun dimulainya PKBM yang diberi nama KHATULISTIWA. Surya Dharma tidak sedang bermimpi, tapi ia benar-benar mewujudkannya.