Mengejar mimpi untuk mendapatkan pendidikan tinggi memang menjadi mimpi saya, tapi takdir berkata lain saat ujian SIPENMARU (seperti UTBK saat ini) tidak ada satupun yang tembus, saya tidak diterima di perguruan tinggi yang saya inginkan.
Sedih rasanya, apalagi bila melihat teman teman yang berhasil diterima universitas favorit. Kalau saja waktu bisa diputar saya akan mempersiapkan lebih serius lagi. Tapi mau dikata apa lagi, nasi sudah jadi bubur.
Saya akhirnya mengambil beberapa kursus untuk mengalihkan kesedihan saya, sekaligus mencari bekal untuk melamar pekerjaan. Saya harus realistis sebagai anak laki laki pertama saya juga bertanggung jawab untuk membantu keuangan keluarga.
Mungkin ini jawaban Tuhan, saya harus bekerja dahulu baru kuliah. Saya sadar diri bila harus mengambil kuliah swasta harus menyiapkan dana yang cukup besar.
Saya akhirnya mengambil kursus Bahasa inggris di Gambir dan kursus komputer di Jatinegara. Maka saya serius mengejar keterampilan dari dua jenis kursus ini dengan waktu yang hampir bersamaan. Dunia kursus cukup menarik karena saya bertemu teman teman baru yang rata rata satu nasib. Tak mampu kuliah tapi ingin bisa diterima kerja.
Hingga di awal tahun 1995 ketika saya telah menyelesaikan kursus komputer saya mendapat informasi seorang teman ada penerimaan karyawan di sebuah perusahaan retail produk fashion dan aksesoris. Perusahaan yang sedang berkembang secara nasional.
Singkat cerita saya melamar dan diterima bekerja. Dengan latar belakang keterampilan dari kursus komputer saya ditempatkan di divisi finance, tepatnya account receivable (AR) di mana saya bertugas untuk melakukan rekonsiliasi pencatatan buku perusahaan dengan pencatatan buku bank (rekening koran). Bila ada selisih, itulah tugas saya mencari tahu dan melakukan komplain bank atas dasar bukti yang dimiliki Perusahaan.
Krisis Moneter dan Memulai Kuliah Malam
Era 1997-1998 dunia sedang mengalami krisis moneter, nilai dolar Amerika melonjak tajam, bank mengalami kesulitan sehingga ada yang gulung tikar. Keadaan Indonesia juga mengalami krisis yang bertambah rumit karena demonstrasi mahasiswa menuntut perubahan.
Puncaknya terjadi penembakan 6 mahasiswa Universitas Trisakti yang memicu kerusuhan dan penjarahan di Jakarta. Presiden Suharto mundur dan era reformasi dimulai.