Sejak masuk sekolah aku mendapatkan jatah jajan disekolah, sekedar membeli makanan dan minuman. Aku sejak kecil termasuk anak yang tidak membawa bekal makanan atau minuman. Disamping uang jajan hasil cuci piring dan mengisi bak mandi, ada jatah jajan sekolah yang jumlahnya Rp 10 .
Uang Rp 10 bisa membeli es sirop warna warni dengan tambahan soda dan membeli satu makanan seperti gorengan atau kerupuk. Untuk ukuran anak SD sebenarnya uang jajan ini sudah cukup , tapi untuk membeli mainan aku harus berkorban tidak makan atau tidak minum. Pilihan yang tentu tidak menyenangkan.
Apalagi melihat teman sebayaku bisa jajan lebih banyak karena diberi jajan lebih besar oleh orang tua mereka. Yang aku bisa lakukan berkorban tidak makan mie goreng Surabaya karena uangnya aku belikan mainan.
Mainan ketika itu seperti ada musimnya. Bila lagi ramai main yoyo, maka anak anak ramai beli yoyo. Kalau lagi ramai main biji karet , semua anak akan beli biji karet untuk diadu. Sampah biji karet dimana mana. Seperti itu anak anak di awal 1982-1988.
Permainan anak anak zamanku lebih beragam dan menurutku lebih menarik. Tak ada handphone, tak ada game online seperti saat ini. Anak anak malah lebih kreatif membuat mainan sendiri.
Membuat mainan dari kaleng susu kental manis, kardus, kulit jeruk bali atau sisa sisa kayu yang tak terpakai. Ide kreatif selalu ada. Berkelompok membuat mainan lalu dengan bangga dipamerkan ke teman yang lain. Semua dibuat mandiri tanpa biaya sepeserpun.
Layangan Putus
Bila musim kemarau, saatnya musim layangan. Permainan favoritku. Walau lebih sering sebagai penonton daripada menerbangkan layangan sendiri. Dan salah satu kebahagianku adalah berburu layangan putus. Berlari mengejar dimana layangan putus akan turun.
Untuk urusan kejar mengejar layangan putus biasanya seorang anak akan membawa galah ( terbuat dari bambu Panjang yang ujungnya diikatkan ranting pohon). Perang antar galah sering terjadi dan malah membuat layangan malah robek dan rusak. Biasanya akan diakhiri dengan perkelahian yang akan cepat dilerai.
Aku lebih senang membeli layangan putus dari tukang galah (sebutan anak yang memiliki galah dan layangan putus untuk dijual kembali) . Alasannya karena bisa langsung dimainkan karena sudah ada tali kama. Aku memiliki kesulitan untuk hal yang semetris.