Lihat ke Halaman Asli

Ar.novalIri

Ndh arsitektural workshop

Facebook dan Generasi Arsitek Follower

Diperbarui: 3 Oktober 2023   13:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

bergaungnya gema kepopuleran untuk menjadi starsitek, terkadang membuat unjug kerja dalam mendapatkan pengakuannyapun begitu sangat mengharu-biru

Proloq

Pada sebuah judul artikel Sastra Jempol yang ditulis oleh Anindita S. Thayf-2016. Begitu sungguh fantastis sekaligus membuat miris, Ketika penulis menarasikan kembali sebuah buku yang berjudul keajaiban pasar senen karya Misbach Yusa Biran yang menuturkan sebuah sarkasme kehidupan seniman yang hidup pada zaman pascakolonial dan mengkaitkan dengan konteks yang kekinian. Penulis juga memaparkan secara lugas tentang sebuah kronik dalam dunia sastra, Salah satu bentuknya adalah usaha mendapatkan sebuah pujian dalam bentuk “jempol”. Berpijak dari ulasan pada artikel tersebut, Tulisan ini mencoba untuk “mendialogkan” dengan konteks cerita sepenggal pergumulan dalam ranah arsitektur Indonesia. Dimana ditengarai ada sebuah gelagat yang dalam konteks kekinian alur perkembangannya hampir ada “sebuah kemiripan” dengan pergulatannya dalam dunia kesusastraan.

Ulasan dari artikel tersebut telah mengingatkan memory saya untuk flash back akan keberadaan sebuah situs media sosial bernama Freindster, dalam situs itu siapapun bisa bebas untuk lebih banyak bergaul dan berteman dengan banyak orang dalam dunia maya. Friendster juga merupakan media bagi sebagian dari kaum muda pada saat itu untuk saling berinteraksi dalam dunia maya, mengaktualisasikan dalam berbagi kreasi konten baik foto karya-karya, pesan dan komentar. Munculnya situs jejaring sosial yang bernama Facebook sebagai situs media sosial terbaru, dimana kehadirannya dengan format yang lebih modern, praktis dan tampilan yang agak familiar dari Friendster, Bisa jadi hal ini merupakan salah satu faktor pendorong mengapa banyak orang pelan-pelan meninggalkan Friendster dan pindah beralih ke media sosial yang bernama Facebook.

Seiring dengan perkembangan dalam situs media sosial yang bernama Facebook, Banyak sekali kita jumpai pada sebuah akun-akun Facebook ini seringkali digunakan dalam berbagai macam hal-mulai digunakan untuk berdagang, mencari jodoh, sebagai media promosi, sebagai media untuk menambah banyak wawasan melalui banyak berteman dengan multidisiplin ilmu, ajang menyebarkan gagasan idiologi dan politik praktis dll, Bahkan sebagai ajang membagikan hasil karya-karya arsitektur seseorang yang berprofesi sebagai arsitek. Maka, sungguh tidak mengherankan, Jika jutaan dari hasil karya proyek-proyek arsitektur masa kini tidak bisa lepas dari apa yang namanya media sosial Facebook lantaran disitulah ribuan hingga jutaan jempol tersedia. Membicarakan Arsitektur dan seputar ketokohannya sang arsitek-pun jelas akan termaktub didalamnya. Di Indonesia, Para generasi arsitek pengagung jempol sebetulnya sudah ada jauh-jauh hari sebelum kemunculan Facebook dengan tombol "LIKE" yang berbentuk jempol/ibu jari. Hal ini dapat ditengarai dalam sebuah cerita dari seorang rekan arsitek senior dari Yogyakarta sewaktu dapat berkesempatan berbincang-bincang dengannya, Dia pernah sekali mengungkapkan meski tidak secara detail, Bagaimana caranya dia secara personal membranding-membangun sebuah kedekatan emosional kepada seorang arsitek ternama untuk mendapatkan secuil limpahan “proyek” dari sang tokoh tersebut. Triknya cukup sederhana saja yakni berikan dua acungan jempol sambil mengucapkan kata TOP sebagai persembahan untuk satu kata pujian kepada seorang arsitek tersebut yang karyanya baru saja dipublikasikan oleh salah satu media ternama. Bahkan juga dia tidak segan-segan untuk memberikan sebuah bentuk pujian itu pada setiap karya-karya sang arsitek ternama tersebut yang sudah dipublikasikan media dan salah satunya pada akun jejaring sosial medianya di facebook.

Sepenggal kisah cerita dari kawan 

Dalam sebuah kesempatan perjumpaan dalam acara bincang santai bersama beberapa kawan lama  dipinggiran Ibukota beberapa tahun yang lalu sebut saja kawan WG, DMK, AW (berikut adalah nama-nama yang disamarkan) pernah, menceritakan sebuah pengalaman empiriknya yang membuat kita semua terpingkal-pingkal dibuatnya, Begini narasi kisahnya :

Luapan rasa hati DMK begitu gembira, ketika satu hasil karya arsitekturnya berhasil terpublikasi dalam sebuah media terkemuka itu dipuji-puji oleh dua orang temannya, AW dan WG. Jutaan kata-kata sanjungan yang sengaja diberikan itu ternyata mampu membesarkan rasa percaya diri meski "penuh kesegaran", "bernafas ironi dan agak sedikit menjurus kepada sinisme halus yang sangat begitu dalam", begitu sangat "pintar menyelipkan sebuah narasi humor dengan nada ejekan", Sungguh tak ayal lagi, Kondisi ini telah sanggup membuat dada membusung dan semakin membesarkan kepala DMK. Sehingga tanpa sadar, pundi-pundi hasil kerjanya tersebut dia pakai untuk mengadakan perjamuan makan malam untuk para pemujinya. Padahal pada sisi lain WG tidak begitu enjoy dalam menikmati narasi pemikiran konsep karya arsitektur pada proyek DMK, Sehingga WG pada saat memberikan jutaan kata-kata sanjungan dan dua jempol dengan rasa berat hati namun ada rasa keterpaksaan. Dalam posisi ini jelas WG sungguh tidak enak hati lantaran sudah terlanjur mendapat jamuan makan malam serba mewah ditambah hidangan penunjang lain bak meriahnya pesta kerajaan. Ditambah begitu nanarnya pelototan dan sorotan liar nan tajam pandangan mata dari sekumpulan rekan-rekan senior yang ikut nimbrung dalam kerumunan pesta tersebut bersama kelompok komunitasnya. Yang konon katanya karya-karya dari para senior tersebut sudah malang melintang dijagat perancangan dunia arsitektur, Bilamana jika dilihat melalui gesture-nya sudah menunjukan sikap geram dan ekspresi yang nampak kurang begitu senang dikarenakan ulah WG itu tak kunjung jua memberi acungan dua jempolnya.

Sarkasme dari kisah cerita kawan WG ini memang cukup mak jleb dalam menarasikan "arti dan makna sebuah rasa rela berkorban" seorang arsitek hanya demi mengejar dan mendapatkan sebuah acungan dua jempol. Rupanya, acungan jempol merupakan hal penting usai karya-karya arsitektur telah tercipta dan terpublikasikan oleh media. Tentu saja, jempol sebagai pembusung dada dan yang bisa membuat besar kepala tak hanya diperoleh dari sesama rekan satu profesinya atau bahkan bisa dari rekan terdekatnya saja, Melainkan bisa juga berasal dari seorang tokoh yang sudah dianggap mempunyai kekuasaan, Misal arsitek seniornya yang sudah tersohor lebih dahulu.

Menjamurnya beragam jenis situs atau website yang menampung dan telah banyak pula mempublikasikan berbagai macam hasil karya arsitek-arsitek dari belahan negara manapun berada, Sekarang sudah dapat terakses dengan sangat begitu mudah. Bahkan ada sebuah perilaku kolektif yang berkecenderungan menjadikan situs-situs ini sebagai arah kiblat yang mampu mempengaruhi sebuah output desain dari para arsitek pengangung jempol, Meskipun ada beberapa hal ketidakcocokan jika diterapkan secara dogmatis untuk dapat dipaksa masuk dalam ranah arsitektur Indonesia [baca: meng-Indonesia]. Akan lebih parah lagi jika materi-materi desain dalam situs-situs tersebut sudah menjadi acuan baku yang dianggap mempunyai kekuasaan untuk menentukan sebuah paradigma tentang nilai baik-buruknya pada sebuah karya arsitektur dan sudah menjadi satu jaminan bahwa karya-karya yang sudah terpublikasi itu sudah patent dan menganggap situs-situs mereka itu seperti kitab-kitab suci yang harus jadi bahan rujukan dalam mendesain. Terlebih lagi jika sang arsitek tersohor itu juga sudah mengambil peranan untuk memberikan sabda-sabdanya, Entah sebatas testimoni pada sampul-sampul dibelakang buku atau sebatas kata pengantar dalam pembukaan pameran-pameran arsitektur, Bisa pula dalam bentuk ulasan diberbagai situs, jurnal dan media cetak maupun online, tentu saja ini akan sangat diburu oleh arsitek pengagung jempol. Hal serupa hampir ada kemiripan seperti posisi cap jempol pada sebuah dokumen-dokumen lelang proyek pemerintah dahulu, Seakan-akan lewat media simbol jempol sebuah karya arsitektur itu sudah layak mendapatkan ruangnya tersendiri untuk disahkan kesahihannya. Bahkan, dalam beberapa kurun tahunan lalu menurut desas-desus dari mulut ke mulut santer terdengar sebuah cerita dari beberapa rekan-rekan seprofesi bila ada sebuah gosip dalam sebuah ajang pemberian gelar penghargaan karya arsitektur pernah menggunakan "sistem jempol" untuk menentukan karya salah satu pemenangnya. Siapapun yang telah berhasil mendulang jempol terbanyak tentu saja dialah juaranya. Meskipun dari hasil karya pemenang tersebut, salah satu clientnya pernah bertestimoni jika dia merasa panas di siang hari meski sudah memakai AC, dan pada saat hujan turun banyak kebocoroan atapnya disana-sini. Kelahiran karya-karya dari para arsitek follower, Tentu saja akan memunculkan sebuah fenomena kebudayaan baru untuk saling memberikan acungan jempol. Bilamana seorang arsitek itu menginginkan banyak limpahan acungan jempol dari arsitek lain maka dia musti harus rajin bersedekah jempolnya. Dari sinilah kemudian menjadi sebuah awal lahirnya sebuah relasi moralitas perkawanan yang menggerombol dan menjadi sebuah kelompok komunitas.

Friedrich Nietzsche dalam sebuah bukunya yang berjudul On the Genealogy of Morality memberikan esai yang cukup demonstrative dan membagi moralitas itu menjadi dua, yakni moralitas budak dan moralitas tuan. Moralitas budak inilah yang kemudian melahirkan moralitas perkoncoan [perkawanan]. Dalam bukunya itu Friedrich Nietzsche juga memberikan sebuah alegori-nya tentang sekumpulan domba-domba ketika melihat sekumpulan burung-burung pemangsa. Sekumpulan domba-domba itu menilai jika sekumpulan burung-burung pemangsa tersebut berwatak jahat hanya dikarenakan moralitas sekumpulan burung-burung pemangsa itu berbeda dengan moralitas yang mereka miliki. Sehingga moralitas perkoncoan inilah yang dijadikan sebagai tolok ukur untuk menentukan paradigma nilai akan baik-buruknya sebuah karya. Tentu saja karya arsitektur dari para arsitek follower itu berada dalam landscape sekumpulan domba-domba ini. Sebagai sesama domba, Para arsitek follower tentu saja akan memberikan acungan jempol untuk konco-konconya sendiri. Dari sinilah awal lahir dan terbentuknya sebuah solidaritas perkoncoan. Penilaian terhadap sebuah karya dan hasil unjug kerja yang terlahir dari sebuah karya arsitektur akan sangat tergantung pada suara konco-konco’nya ini. Bila ada seseorang yang berasal dari luar kelompok komunitasnya dalam memberikan jempolnya secara terbalik kepada karya salah satu anggota kelompoknya tersebut maka sebaiknya orang itu segera bersiap diri. Karena dia itu bakal dikeroyok, dimusuhi untuk disingkirkan jauh-jauh, Sebab sudah dianggap sebagai anasir-anasir jahat sebagaimana yang dialegorikan oleh Friedrich Nietzsche dalam bukunya itu seperti pada burung-burung pemangsa. Dalam konteks perkembangannya yang kekinian beberapa karya dari kumpulan para arsitek follower, Bahkan ada satu pola yang cenderung dapat menyebabkan karya-karya arsitektur mereka itu terkadang hanya menjadi numpang narsis secara estetis atau bahkan bisa dikatakan lebih merujuk kepada penamaan sebuah idiom-idiom populer semata, Tanpa menelaah kembali akan esensi yang lebih mendalam untuk konteks arsitektur yang lebih luas dan menyeluruh dalam meng-Indonesia. Tanda “LIKE” atau Jempol telah membuatnya serasa sudah melahirkan karya-karya arsitektur yang begitu sangat-sangat istimewa. Padahal, sebenarnya mereka itu telah terkecoh oleh ilusi beragam sifat-sifat megalomania yang telah lahir dari acungan jempol para konco-konconya sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline