Kau Harus Tahu
Kau perlu tahu.
Aku melepas sebuah perahu kertas yang kugubah dengan sungguh-sungguh.
Berwarna putih, tanpa noda.
Sedikit melengkung, dengan ukuran yang lebih lebar dibandingkan senyum tipis gadis tuan tanah.
-
Hanya saja, perahu itu enggan berbicara.
Sedikit mirip dengan seseorang yang baru saja kita perbincangkan.
Bedanya, dia memang benar-benar tidak bersuara.
Kaku tanpa ekspresi.
Dan aku sedikit membencinya.
-
Aku sungguh melepas perahu kertasku dengan hati yang berat.
Ah, tidak. Tidak sama persis dengan rasa sakit saat ditinggal mati sahabatku tujuh tahun silam.
-
Perahu itu memang terlihat remeh.
Hanya sebuah kertas yang dibentuk sedemikian rupa.
Namun, miniatur itu indah bagiku.
Ya! Dalam sudut pandangku.
Terlepas dari betapa dinginnya sikap perahu itu kepadaku.
-
Aku melepasnya disaat air sungai sedikit mengering.
Tidak terlalu kering memang.
Hanya sedikit lebih basah dari kalimat jawab seseorang yang sama setiap hari.
Tidak! Kau tidak boleh tahu tentangnya lebih dari ini.
Dia tidak mungkin pria, karena aku masih menyukai wanita sebagai lawan jenis yang menggoda.
Sekali lagi aku tegaskan.
Jangan bertanya tentangnya lebih dari ini!
Karena dia tidak pernah benar-benar melihatku.
Dan tentu saja itu berlaku pula untukmu.
-
Kau harus tahu.
Jika kau membongkar bentuk perahu itu, kau hanya akan temukan selembar kertas yang kosong.
Tidak ada tulisan apapun didalamnya.
Biarpun kau mencoba untuk membolak-balikkannya ribuan kali, kau tetap tidak akan temukan apapun.
-
Baiklah, mari kita berhenti membicarakan perahu itu.
Itu tidak lagi berguna, karena tidak lagi berada dalam genggamanku.
-
Dan kini, aku masih memiliki ribuan kertas.
Aku bisa membuat perahu kertas seperti itu ribuan kali jika aku mau.
Tetapi tentu saja itu akan sangat membosankan.
Berulang kali melakukan sesuatu yang sama, dan berulang kali merasakan luka yang sama.
-
Sudahlah! Matikan saja lampu kamarmu yang redup ini.
Aku tidak akan datang lagi untuk membicarakan perahu kertasku.
Juga omong kosong sikap dingin seorang gadis kepadaku.
-
Tutuplah segera kedua matamu.
Dan disaat kau membukanya kembali, aku benar-benar telah pergi.
Karena sepertinya Tuhan telah memanggilku.
Untuk membiarkanku bercerita, dan Dia menjadi pendengar abadi kisahku yang tidak kenal kata bahagia.
-
Medan, 29 September 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H