Lihat ke Halaman Asli

Nova Enggar Fajarianto

anak muda yang akan terus belajar

Mengintip Peluang Pengenaan Cukai Kendaraan Roda Empat

Diperbarui: 16 Februari 2019   00:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Antara Foto

Siapa tak kenal Jakarta. Kota gemerlap yang merupakan ibu kota negara kita tercinta, Indonesia. Kota terbesar dan teramai di negeri ini sekaligus menjadi salah satu kota termacet di dunia. Dapat dilihat dari data riset TomTom Traffic Index 7 Januari 2019 pukul 17.23 WIB, di mana kecepatan kendaraan yang melintas di Jakarta 20 km/jam. Sedangkan paling optimal, kecepatan kendaraan yang bisa ditempuh hanya 23 km/jam. 

Hasil ini selaras dengan data Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta yang mencatat kecepatan rata-rata lalu lintas 20-21 km/jam, dengan waktu berhenti sekitar 60% dibandingkan waktu bergerak 40%. Sumber kemacetan lainnya adalah proporsi yang tidak berimbang antara pertumbuhan kendaraan bermotor dengan pertumbuhan jalan.

 Menurut data Polda Metro Jaya, pertumbuhan kendaraan bermotor di Jakarta setiap harinya mencapai 1,130 unit. Jumlah kendaraan bermotor yang melintas di Jakarta mencapai 11.362.396 unit dengan 98% kendaraan pribadi dan 2% kendaraan umum. Tom Tom Traffic Index menyebutkan bahwa kemacetan paling parah di DKI Jakarta terjadi pada beberapa waktu di antaranya pada pagi hari sekitar pukul 07.00-08.00 serta sore hari pukul 17.00-18.00. 

Setiap hari Senin, kemacetan di DKI Jakarta juga bertambah hingga 68%, sementara Jumat menjadi hari paling lengang di pagi hari. Kamis sore menjadi hari paling macet di DKI Jakarta dengan penambahan waktu tempuh hingga 98% dibandingkan hari-hari lainnya.

Hampir setiap tahun, jumlah masyarakat yang berada di Jakarta bertambah. Banyak orang yang ingin mengadu nasib di Jakarta adalah salah satu pemicunya. Berawal dari seorang kepala keluarga dari kampung yang merantau ke Jakarta, kemudian mengajak saudaranya, berikutnya anaknya, berikutnya teman anaknya dan seterusnya membuat Jakarta semakin padat. 

Kepadatan inilah menjadi salah satu penyebab kemacetan yang tidak kunjung reda. Kondisi demikian membuat pemerintah mengambil kebijakan strategis dengan membangun Mass Rapid Transit (MRT), Light Rail Transit (LRT), pembangunan jalur tambahan Transjakarta, pembatasan 3 in 1 hingga pembatasan kendaraan pribadi melalui sistem Ganjil Genap. 

Kebijakan tersebut digadang-gadang sebagai solusi untuk mengatasi kemacetan di jalanan kota Jakarta. Dalam ilmu ekonomi, jalan raya dapat dikaitkan dengan barang publik. Yaitu barang yang bersifat non eksludable dan non rivalry. Artinya siapa saja tidak bisa mencegah untuk memanfaatkan barang tersebut (non ekskludable) dan konsumsi seseorang atas barang ini tidak mengurangi peluang orang lain melakukan hal yang sama. 

Jalan raya di saat lengang disebut sebagai barang publik. Namun apabila jalanan padat/macet, maka jalan raya tersebut dapat disebut sebagai sumber daya milik bersama. Berbeda dengan barang publik, sifat dari sumber daya milik bersama ini adalah non eksludable dan rivalry. Jalan raya yang padat tersedia secara gratis bagi siapa saja yang menggunakannya. Tetapi setiap pemanfaatan oleh seseorang akan mengurangi peluang orang lain untuk menggunakannya. 

Inilah yang terjadi di kota Jakarta seperti sekarang ini. Kemacetan telah mengurangi peluang bagi orang lain menggunakan fasilitas jalan raya (rivalry). =

Menurut penulis, sikap pemerintah guna mengatasi problem di Jakarta sangatlah serius. Pembangunan berbagai jenis transportasi diharapkan dapat menjadi solusi strategis masyarakat di Jakarta. 

Namun apakah cukup demikian?. Dengan melihat realita yang ada, kemacetan di Jakarta tidak kunjung mereda. Bahkan terkesan stagnan tidak berkurang justru malah bertambah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline