Lihat ke Halaman Asli

Jangan Sebut Mereka Pengungsi

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1289295974301597811

[caption id="attachment_74345" align="alignleft" width="300" caption="images.eonline.com"][/caption] hari ini kami bergerak menuju SMK 3 Negeri Yogyakarta untuk melakukan pendampingan terhadap posko baru. Dalam perjalanan, salah satu penggiat isu wanita (salah satu rekan saya) mengatakan "kita hari ini mencari info mengenai survivor perempuan dan anak yang ada  disana". Kata-kata survivor itu menarik buat saya, lalu dalam perjalanan pulang saya ajak diskusi. Kenapa dia menyebut survivor bukan pengungsi. saya tanya, kenapa di sebut survivor ya mbak ? konotasi pengungsi menurut dia ialah dalam kondisi ketidakberdayaan, sehingga segala sesuatunya itu seolah-olah perlu dibantu. Padahal mereka itu akan hidup  disana (tempat baru) berdasarkan karakteristik mereka . kata-kata survivor menunjukkan bahwa mereka harus survive di tempat baru tersebut dengan usaha mereka dan cara-cara mereka setelah mereka hijrah dari tempat yang nyaman dahulu.  Sehinga kita sebagai relawan hanya sebagai fasilitator, yang membantu mereka untuk survive di tempat tersebut, bukan sebagai dewa yang bisa memberikan segala-galanya. Misal saja ketika dapur umum sudah terbentuk, maka serahkanlah pada warga itu untuk bekerja, seperti memasak untuk makanan mereka sendiri (atau kegiatan-kegiatan lain yang bisa didampingi relawan). Tentu saja hal ini bisa berkoordinasi dengan beberapa relawan atas stok persediaan logistik  disana. Bukan dikit-dikit makan pagi di drop, makan siang di drop, ataupun mau minum di buatin (walaupun menurut mereka tidak masalah dan terima kasih karena banyak yang membantu). hal ini dilakukan supaya mereka merasa release (misal kita mengalami kejadian kehilangan luar biasa, seperti hilangnya keluarga. Lalu suatu saat kita melihat televisi yang menceritakan keluarga yang bahagia. maka kita pun harus mengerti bahwa itu hal yang wajar dan kita tidak merasa emosi, kita harus tetap berjuang tanpa keluarga kita yang telah hilang itu). hal ini bisa saya temukan di lapangan,  saya ngobrol dengan salah satu warga disana. Mereka merasa bosan karena tidak ada kegiatan yang biasanya rutin mereka lakukan disana (rumah). Disini segala sesuatu nya tersedia, walaupun dalam tahap awal relokasi, bantuan itu memang sangat berarti. Namun selanjutnya biarlah mereka yang mengelola, agar bisa mengembalikan kondisi mereka seperti dahulu ketika berada di rumah (walaupun kita tidak tahu berapa lama akan tinggal ditempat tersebu) bayangin aja bila tanggap darurat sampai satu bulan, mereka tidak melakukan kegiatan apa pun. Segala sesuatunya di sediakan. Boleh disediakan, namun libatkan lah para survivor itu untuk mengelola posko relokasi warga merapi (hal ini lah yang akan dilakukan di SMKN  3 Yogyakarta, mungkin beberapa tempat lainnya yang sudah menerapkan hal ini) ada kasus di salah satu tempat di universitas ........ , seorang ibu memasak bubur dan ada juga yang lagi menggoreng kentang. tiba-tiba korlap logistik, melarang-larang, ngapain tuh masak-masak, kita gag butuh. Dia nunjuk-nunjuk sambil minum susu kotak (curhat salah satu teman). Padahal para survivor itulah yang tahu keadaan warga dan keluarganya. Mari kita bangun perlakuan yang positif di awali dengan sebutan yang positif  untuk para warga relokasi bencana merapi. oh iy survivor dalam bahasa indonesia ialah penyintas sumber inspirasi : Manda, LSM rifka annisa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline