Lihat ke Halaman Asli

Manajemen Ekonomi Kerakyatan

Diperbarui: 27 Juni 2016   11:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Oleh: M. Nova Burhanuddin

Perahu negeri Indonesia yang membawa banyak kekayaan alam ini agak oleng dari yang seharusnya ia berada. Tak layak ia bernasib seperti ini. Modal alamnya begitu besar. Modal sejarahnya gilang gemilang. Modal intelektualnya lumayan. Namun kesejahteraan yang didambakan tidak kunjung datang. Alih-alih mendapatkan apa yang seharusnya diterima mengingat modal yang telah dikerahkan.

Mungkin ada masalah dengan sistem ekonomi kita. Ada yang tidak terarah di sini. Penegasan identitas ekonomi ala Indonesia demi karakter ekonomi dan efektivitasnya perlu ditekankan lagi. Kita harus bahas lagi!

Ilmu ekonomi dan aktivitas ekonomi tidak terlepas dari pendekatan perilaku (behaviour) manusia itu sendiri. Karena bagaimanapun juga, ekonomi dimulai, digerakkan, dan diakhiri dari, oleh, dan ke manusia itu sendiri. Segala kalkulasi ekonomi yang nyaris pasti itu akan mentah dan mental bila perilaku manusia sebagai agen ekonomi berubah. Jadilah ekonomi tak pernah pasti.

Sementara itu, perilaku manusia berbeda satu bangsa dengan bangsa lain. Terkait konteks sosial, politik, budaya, adat, gaya hidup, dan sejarah yang melingkupinya dan menghidup-hidupinya. Jangan kita harapkan aktivitas ekonomi Uni Eropa dengan ASEAN sama. Alih-alih, aktivitas ekonomi Indonesia dengan Malaysia berbeda. Pulau Jawa dengan Papua pun berbeda. Perbedaan yang terkait prioritas dan worldview masyarakat tiap kawasan yang berbeda. Maka strategi ekonomi berbasis kawasan mutlak diperlukan. Sementara kawasan kita, Indonesia, aktivitas ekonominya berbasis kerakyatan, yang mana ekonomi negara digerakkan oleh sirkulasi ekonomi di tingkat rakyat. Apalagi melihat penerimaan (income) terbesar Negara Kesatuan Republik Indonesia masih dan terus-menerus dipasok dari pajak. Artinya, ketergantungan negara kita pada rakyatnya sendiri secara riil masih begitu besar, melebihi keuntungan aktivitas ekonomi apapun.

Melihat kenyataan itu, mau tidak mau ekonomi kita adalah ekonomi berbasis kerakyatan, dengan inovasi-inovasinya yang dibutuhkan secara langsung oleh rakyat. Perbaikan dan pengembangan manajemen mutlak dipercepat, sebagaimana itu hal paling berpengaruh yang dibutuhkan rakyat.

Yang perlu diketahui bahwa ekonomi bukan persoalan produksi dan semacamnya semata. Ia juga merupakan manajemen sebagai kunci aktivitas ekonomi itu berjalan. Inovasi tingkat tinggi pada sistem produksi memang diperlukan paling tidak sebagai strategi jangka panjang. Tapi strategi jangka pendeknya tak terlepas dari peran manajemen ekonomi itu sendiri yang pastinya berada di pundak rakyat sebagai ujung tombak. Ada banyak sektor ekonomi riil di masyarakat yang perlu diperbaiki secara manajerial. Alih-alih menyalahkan kelengkapan teknologi mutakhir yang menguras anggaran negara. Tanpa manajemen tepat, investasi teknologi produksi akan sia-sia.  

Pentingnya perbaikan manajerial dalam aktivitas ekonomi mungkin perlu diceritakan dulu di sini. Supaya orang tak mudah menganggapnya sepele. Dan supaya orang tahu bahwa aktivitas produksi tidak bisa dipisahkan dari manajemen yang bagus. Keduanya bagian penting dalam ekonomi. Uraian menarik ini terinspirasi dari karya Prof. Dr. Abdurrahman Abu Qathifah dalam bukunya Al-Iqtishâd al-Islâmîy wa al-Iqtishâdiyyât al-Wadh’iyyah(Ekonomi Islam dan Ekonomi-ekonomi Konvensional).

Ada fakta menarik terkait ketimpangan aktivitas produksi dengan aktivitas manajerial dalam ekonomi. Bahwa inovasi dan penemuan baru dalam sains (yang tentu saja menggerakkan roda ekonomi) ternyata tidak berbanding lurus dengan peningkatan ekonomi kerakyatan. Karena lebih bersifat elitis yang melibatkan sekelompok kecil orang dengan tingkat pendidikan dan informasi yang relatif tinggi. Penemuan alat produksi mutakhir pun semakin menyingkirkan peran riil rakyat dalam produksi. Akibatnya, rakyat sebagai aktor ekonomi sebenarnya tersingkirkan oleh mesin-mesin perkasa nan kasar. PHK jadi pilihan otomatis pabrik sebagai produsen. Di sisi lain, aktivitas sederhana rakyat semakin menurun karena tingkat pengetahuan dan informasinya rendah. Dan pemerintah biasanya galau memilih dua jalur yang sulit: berpihak pada pengusaha padat modal jarang orang atau berpihak pada rakyat padat karya jarang modal. Di sini rakyat selalu jadi korban.

Menghadapi ini ekonomi baru harus digalakkan. Nantinya tingkat ekonomi negara akan meningkat. Model ini sudah dipraktekkan beberapa negara maju, seperti Jepang, Tiongkok, Korea Selatan, Korea Utara, yang mana minim sumber daya alam, maksimal dalam berkarya dan memberdayakan potensi rakyatnya. Yakni pendekatan ekonomi berbasis manajemen. Dalam arti gerakan rakyat melek manajemen sehingga mereka mampu melakukan produksi rumah tangga secara profesional dalam skala massif. Gerakan massif ini tentu akan menggerakkan ekonomi dari wilayah yang paling membutuhkannya pertama kali, yakni rakyat, menuju wilayah atas. Bukan gerakan pertempuran antara kelas buruh dengan kelas pengusaha, bukan monopoli ekonomi oleh segelintir orang penuh modal penuh informasi.

Negara dalam hal ini berkewajiban untuk membuat rakyat melek manajemen, sehingga dengan modal minimum pun mereka bisa berproduksi secara efektif. Sehingga secara langsung menciptakan lapangan pekerjaan yang baru. Beban negara pun berkurang karena negara fokus pada penciptaan sistem yang menjamin rakyat jadi melek manajemen karya dan produksi. Balai-balai pelatihan manajemen dalam seluruh bidangnya harus dibangun merata di seluruh pelosok negeri. Dengan begitu peluang berproduksi dan menghasilkan lapangan pekerjaan baru semakin besar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline