Lihat ke Halaman Asli

Tumenggung Jalil dan Pemberontakan Banua Lima dalam Sejarah Banjar

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Norpikriadi

24 September 1861.

Suatu hari di Benteng Tundakan, Awayan. Semilir angin pegunungan seakan menentramkan bumi dari sengatan matahari yang membakar. Ada di dalam benteng Tumenggung Jalil, Pangeran Miradipa, Tumenggung Naro, Angkawaya (pejuang wanita), bersama-sama 500 rakyat pejuang. Tundakan mendapat kehormatan hari itu karena pemimpin utama rakyat Banjar, Pangeran Antasari, kebetulan datang berkunjung.[1] Akan tetapi pada saat yang sama Tundakan juga kedatangan “tamu” yang lain.Mereka adalah 200 lebih tentara Belanda di bawah pimpinan Kapten Van Langen dan Kapten Van Heyden. Tuan rumah segera “menjamu” mereka dengan tembakan gencar dari 30 pucuk lila, beberapa pucuk bedil dan pamoras, selebihnya dengan senjata-senjata tradisional. Pertempuran pun pecah. Letusan senapan, dentum meriam, dan desing peluru berpadu dengan erangan korban yang berjatuhan.

Ketika pasukan Belanda tengah fokus pada perlawanan sengit dari dalam benteng, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh munculnya sesosok pejuang dengan sekelompok pengikutnya yang langsung menerjang ke barisan mereka. Pejuang itu mengamuk. Pekik jihadnya seakan seirama dangan kelebatan parangnya yang menyambar ke segala arah. Dialah Tumenggung Jalil.

Seperti pertempuran-pertempuran lain dalam menghadapi kekuatan pribumi, pada Pertempuran Tundakan pun pihak Belanda memiliki persenjataan yang lebih unggul. Namun mungkin karena konsentrasi mereka terpecah oleh perlawanan sengit dari dalam sekaligus dari luar benteng, pasukan Belanda terpaksa mundur dari Tundakan.[2] Hanya saja kemenangan pihak Banjar ini rupanya merupakan pertempuran terakhir bagi Tumenggung Jalil. Seusai pertempuran, kawan-kawan seperjuangannya menemukan jasad sang tumenggung jauh di luar benteng, ada di antara tumpukan mayat serdadu Belanda yang tewas oleh amukannya. Sesudah luka-lukanya dibersihkan, mayatnya kemudian dimakamkan secara rahasia di suatu tempat tidak jauh dari benteng.[3]

Di mata Belanda, Jalil rupanya dipandang sebagai musuh yang dosa-dosanya tak terampuni. Untuk itu mereka memburunya hingga ke liang kubur. Beberapa tahun setelah kematiannya, seorang pengkhianat memberitahukan letak kubur Jalil. Para kaki tangan Belanda segera membongkarnya. Jenazah Jalil “dieksekusi”. Kepalanya diambil untuk kemudian disimpan di Museum Leiden Belanda sebagai salah satu piala kemenangan, simbol kejayaan kolonialisme masa lalu. Sementara sisa jasadnya dihancurkan. Gazali Usman lalu menyebutnya sebagai ... “Pejuang Bangsa yang tak memiliki kubur.[4]

Pengantar

Dalam studi sejarah Banjar, tokoh Jalil atau Tumenggung Jalil dan Pemberontakan Banua Lima (gerakan sosial yang ia pimpin) sebenarnya telah sering ditulis orang, kendati ia sekedar diposisikan sebagai tokoh atau tema “pinggiran” untuk menunjang tema utama (biasanya tentang Perang Banjar). Penempatan seperti ini membuat pemahaman tentang ketokohan dan peran sejarahnya cenderung terjebak pada sudut pandang heroisme semata. Jika mengacu Helius Sjamsuddin, tipe penulisan “nasionalistik” semacam ini terlalu simplistis dan akan merugikan suatu diskusi sejarah yang serius.[5] Belum ada misalnya, yang menjadikannya sebagai sebuah fenomena historis yang terkait erat dengan nilai-nilai kultural lokal yang mem-background-nya. Belum ada pula yang secara khusus mengkaji Pemberontakan Banua Lima yang dipimpinnya dari perspektif ilmu sosial, yaitu dengan menggunakan teori-teori gerakan sosial. Nah, tulisan ini hendak mengisi ruang kosong tersebut.

Penyebutan Pemberontakan Banua Lima sebagai gerakan jaba, untuk menunjukkannya sebagai sebuah gerakan dari kaum jaba (golongan rakyat biasa) dan dipimpin oleh seorang tokoh jaba bernama Jalil. Sesuai dengan nama pemimpinnya, gerakan itu dalam pembahasan ini juga akan disebut gerakan Jalil.

Latar Belakang Sosio Politis

Berdasarkan forklor populer di daerah ini[6], masyarakat Banjar melacak asal-usul mereka ke masa legendaris, Kerajaan Negara Dipa. Pada satu babak dikisahkan, ketika Ampu Jatmika akan wafat ia memanggil Ampu Mandastana dan Lambung Mangkurat. Dalam sekaratnya penguasa pertama itu berpesan kepada kedua putranya tersebut agar jangan menggantikannya sebagai raja. Sebab bencana dan malapetaka akan menimpa jika orang bukan turunan bangsawan seperti mereka menerima kehormatan sebagai raja. Ampu Jatmika sendiri yang bergelar Maharaja di Candi, meski ia yang membangun Negara Dipa dan berkuasa di kerajaan itu, tetapi ia meletakkan kekuasaan tertinggi pada sepasang patung yang ada di Candi Agung sebagai wakil dewa. Sedangkan ia hanyalah bertindak selaku pelaksana saja.

“Etika politik” ini berakar dari konsepsi Hinduisme sebagai keyakinan yang dianut pada masa itu. Dihikayatkan, Ampu Jatmika adalah anak dari Saudagar Mangkubumi. Dari nama ayahnya itu dapat diketahui, keluarga pendiri Negara Dipa ini memang tidak berkasta ksatria (kaum bangsawan), melainkan berkasta waisya (golongan pedagang).

Selanjutnya kata Ampu Jatmika, apabila ia meninggal hendaklah patung di candi itu dilemparkan ke laut, dan kedua putranya dititahkan untuk bertapa sampai menemukan raja manusia yang ditunjuk dewa. Segera setelah Ampu Jatmikamangkat, Lambung Mangkurat dan Ampu Jatmika melaksanakan wasiat sang ayahanda. Dari pertapaannya di sebuah pusaran air yang dalam, Lambung Mangkurat menemukan Putri Junjung Buih yang kemudian ditahtakan sebagai raja putri di Negara Dipa. Putri ini lalu dikawinkan dengan seorang Pangeran Majapahit bernama Raden Putra yang kemudian juga ditahtakan sebagai raja dengan gelar Pangeran Suryanata. Dari pasangan inilah tercipta kaum bangsawan Banjar, yang menjadi raja-raja Negara Dipa berikutnya, dan raja-raja di Negara Daha, serta Kerajaan Banjar sebagai kerajaan-kerajaan lanjutan. Menurut tradisi, kepada merekalah masyarakat Banjar[7] meletakkan kesetiaan dan pengabdian dalam tata hidup berkerajaan.

Proses terbentuknya dinasti raja di atas sejalan dengan konsep deva raja seperti yang kerap dikemukakan M.Z. Arifin Anis, bahwa hanya kaum bangsawan yang menurunkan raja-raja sebagai wakil dewa di dunia.[8] Telaah Husni Abar atas Hikayat Banjar menyimpulkan, sejak saat itu masyarakat Banjar terstratifikasikan ke dalam dua golongan, yaitu golongan tutus (kaum bangsawan) dan golongan rakyat biasa (kaum jaba).[9] Anis mengakui, fenomena ini mirip dengan konsep kawula gusti di Jawa, di mana masyarakat terbelah menjadi dua lapisan, penggede dan wong cilik. Namun Sejarawan FKIP Unlam ini juga menunjukkan adanya perbedaaan dalam penerapannya di Banua. Jika di Jawa hak memerintah melulu ada pada raja sebagai pemilik wahyu dan pulung, maka di daerah ini kedudukan raja lebih merupakan kedudukan magis religius (cenderung sebagai simbol semata). Sementara kekuasaan yang bersifat profan (tereprentasikan pada jabatan mangkubumi) merupakan hak orang jaba yang memiliki kecakapan dan pengetahuan yang didukung oleh pengalaman.[10]

Kepeloporan Ampu Jatmika dan dominannya peran Patih Mangkubumi Lambung Mangkurat dalam tata pemerintahan Negara Dipa memperlihatkan dominasi kaum jaba dalam kekuasaan duniawi, seperti pendapat Anis di atas. Sedangkan raja-raja pada masa itu serupa kedudukannya dengan sepasang patung pada saat Ampu Jatmika berkuasa, yaitu berposisi sebagai wakil dewa yang melegitimasi kekuasaan manusia (kaum jaba) di dunia. Tahta dalam konteks ini lebih merupakan kedudukan religius, yaitu sebagaisumber legitimasi politik.

Meskipun Kerajaan Banjar yang muncul pada abad ke-16 adalah Kerajaan Islam, namun tradisi politik yang diwariskan dari masa Hindu (Negara Dipa) ternyata tetap kuat mewarnai proses pembentukan dan perjalanan kerajaan baru tersebut. Sampai datangnya masa Raja Banjar ke-6 Sultan Saidullah, di manakedudukan mangkubumi dijabat paman sultan sendiri[11], peranan kaum jaba sebenarnya cukup signifikan di dalam tata pemerintahan. Sama halnya dengan pembagian kekuasaan pada masa Negara Dipa, sejak raja pertama Sultan Suriansyah, jabatan mangkubumi diberikan kepada seseorang dari kalangan rakyat biasa (kaum jaba) yang cakap, mampu dan berdedikasi.[12]

Dalam lingkup lebih sempit, kita akan berusaha menyingkap pengaruh tradisi politik ini di dalam gerakan Jalil.

Penindasan Ekonomi

Gerakan Jalil adalah sebuah gerakan rakyat yang muncul pada pertengahan abad ke-19 di Banua Lima, sebuah daerah Kerajaan Banjar yang meliputi daerah Negara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan Kelua.[13] Ia merupakan daerah setingkat provinsi yang subur tanahnya[14] paling padat dan makmur penduduknya,[15] karenanya ia merupakan daerah pertanian utama dan sumber pajak terbesar. Idwar Saleh[16] menyebutnya sebagai gudang padi kerajaan.

Munculnya gerakan Jalil tidak bisa dilepaskan dari situasi masa itu, di mana penetrasi politik Belanda yang berlangsung sejak akhir abad ke-18 semakin menemukan efektifitasnya di Kerajaan Banjar. Melalui kontrak demi kontrak yang ditandatangani kedua pihak, status kerajaan akhirnya tereduksi menjadi setingkat vasal saja di dalam sistem pertuanan Belanda. Wilayah kerajaan yang disebut Tanah Sultan semakin dipersempit seiring dengan diperluasnya Tanah Gubernemen (sebutan untuk bekas wilayah kerajaan yang diperintah langsung Belanda). Ini berhubungan dengan meningkatnya grafik kepentingan ekonomi kolonial, khususnya sejak ditemukan dan diproduksinya tambang batubara di daerah ini.

Dengan wilayah yang semakin terdesak ke pedalaman, Kerajaan Banjar terpaksa kembali bercorak agraris seperti masa Negara Dipa. Padahal beberapa abad sebelumnya, kerajaan ini dikenal sebagai negeri maritim. Oleh karena telah berpaling pada sistem agraris, Kerajaan Banjar menjadi sangat bersandar pada sistem pajak untuk menghidupi keraton.

Aneka pajak yang dipungut dari rakyat, meliputi; pajak kepala, cukai uang sepersepuluhan, sewa tanah, pajak perahu, serta pajak penggalian intan dan emas. Pajak kepala ditarik dari tiap-tiap keluarga, besarnya tergantung jumlah anggota keluarga. Untuk penduduk yang sudah menikah, pajak kepala ditentukan sebanyak f 4,30 dan bagi yang belum menikah f 3. Bagi yang hanya mampu membayar separo, apalagi yang tidak mampu membayar, harus melakukan kerja wajib kepada sultan.[17] Dengan menyempitnya wilayah kekuasaan, maka berkurang pula sumber penghasilan keraton. Untuk menutupinya, pihak kerajaan terpaksa menaikkan pajak dua kali lipat. Kenaikan itu dimulai pada masa Sultan Sulaiman (1808-1825) dan dinaikkan lagi dua kali lipat oleh Sultan Adam (1826-1857).[18] Oleh karena bertanah subur dan berpenduduk padat, maka dengan sendirinya penduduk Banua Lima lah yang kebanyakan terkena pajak.[19]

Tekanan pajak yang berat itulah yang menyebabkan rakyat menjadi sengsara dan menderita, sehingga pada tahun 1854 sebanyak 150 orang kepala keluarga dari penduduk Amuntai menemui Residen van der Ven di Banjarmasin untuk mengadukan nasib mereka. Jalil, pemimpin mereka, memohon agar mereka diijinkan pindah ke wilayah kekuasaan Belanda, tapi residen menolaknya.[20]

Fenomena ini menarik dikaji, karena rakyat Banjar--minimal sebagiannya--ternyata lebih suka tinggal di wilayah Belanda daripada di wilayah yang diperintah rajanya sendiri.

Di samping yang telah disebutkan, aspek lain dari masyarakat Banua Lima diungkapkan oleh Helius Sjamsuddin, bahwa selain mayoritas petani, mereka juga dikenal sebagai pengrajin (terutama orang Negara) dan pedagang yang ulet. Mereka umumnya adalah penganut Islam yang taat. Dari sudut pandang Belanda, orang-orang Banua Lima mudah sekali dibangkitkan untuk berontak, terutama jika perlawanan dikaitkan dengan fanatisme Islam. Di samping itu, penduduk di sini memiliki ikatan kultural yang kuat dengan kerajaan. Bahkan, jauh sesudah Kerajaan Banjar dihapus Belanda (1860), tempat ini masih dipandang sebagai “tanah subur” bagi kaum royalis yang mempropagandakan legitimitas untuk merestorasi kerajaan tersebut. [21]

Selama bertahun-tahun terdapat perasaan frustasi di kalangan rakyat Banua Lima terhadap kepala daerah mereka, Kiyai Adipati Danuraja, karena tindak kesewenang-wenangan dan penghisapan.[22] Namun kepemimpinannya ditopanglegitimitas politik yang kuat, karena ia adalah kerabat istana.

Ayahnya adalah penduduk kelahiran Amuntai yang karena berjasa pada kerajaan, maka sultan memberinya gelar pembakal sehingga terkenal sebagai Pembakal Karim.[23] Dari hasil perkawinannya dengan saudari Nyai Ratu Komala Sari (Permaisuri Sultan Adam), pembakal itu memiliki dua orang anak, Jenal (Zainal?) dan Aluh Arijah. Sebagai ipar sultan, Pembakal Karim juga diberi gelar Kiyai Ngabehi Jaya Negara, sedangkan sebagai kemenakan sultan, ‘Zainal’ diberi gelar Kiyai Adipati Danureja.

Kedua anak beranak ini diberi tugas oleh sultan mengatur pemerintahan Banua Lima, tetapi pemerintahan mereka tidak disenangi rakyat karena sifatnya yang sewenang-wenang. Danureja mengorganisir perampokan lada dan perbudakan di daerah Pasir. Dalam menjalankan kekuasaan, ia juga memberlakukan hukuman mati kepada terdakwa, padahal menurut aturan yang berlaku: “sembarang orang baik radja2 (para penguasa lokal) tiada boleh sekali mengerdja orang hukum mati meski bagaimana dia punya kesalahan melainkan sultan sendiri jang boleh mengerdja hukum mati di atas orang jang sampai hukumannya…”[24](bold oleh penulis).

Oleh Danureja dan keluarganya, tanah-tanah pribadi milik penduduk dapat diambil sesuka hati dan ia juga kerap menetapkan denda-denda yang tak adil serta berat sekali. Kepada petani dinaikkannya pajak kepala sebanyak dua kali lipat yang dibayar dua kali setahun.[25] Di samping itu ia juga menyewa para penjahat untuk membunuh musuh-musuhnya.

Walaupun jabatan Kiyai Adipati bukan jabatan pusat, namun perlu diingat, siapapun yang memerintah Banua Lima berarti ia memegang “daerah terbasah” seantero negeri. Bagi kerajaan, daerah subur yang padat penduduk itu memiliki arti penting sebagai penyumbang pajak terbesar. Sebagai kerabat raja, tak seorang pun yang berani menyentuh Danureja. Satu-satunya orang yang berani melawan Danureja adalah sepupunya sendiri yang bernama Jalil.[26] Ia seorang jaba, bukan turunan bangsawan. Lahir sekitar tahun 1820 di kampung Palimbangan, Amuntai.[27] Sejak kecil Jalil dikenal pemberani dan pendekar ilmu silat.[28]

Meski bersepupu dengan Danureja, Jalil adalah bagian dari rakyat Banua Lima yang menjadi korban kesewenangannya. Ia begitu mendendam Danureja karena ayahnya dihukum mati oleh penguasa lokal itu, padahal seperti telah disebut, hukuman semacam itu hanya boleh dilakukan (hak prerogatif) sultan.

Pemberontakan Pecah

Sementara itu di Istana Banjar terjadi faksionalisme, terutama antara kubu Pangeran Hidayat melawan kubu Pangeran Tamjid, sehubungan dengan penentuan calon pengganti Sultan Adam. Salah satu asfek politik dari Kontrak 1826 yang ditandatangani Sultan Adam sendiri menyebutkan, soal pergantian tahta kerajaan harus dikonsultasikan dengan Pemerintah Belanda:

Kapan datang suatumasa hukum Alloh Sri Paduka Sultan meninggalkan melainkan siapa jang sudah kesukaan geburmin djadi pangiran ratu lantas berdiri djadi mengganti dia punja kedudukan Sultan itu pegang keradjaan dan habis djadi Sultan baru menundjuk dia punja kesukaan akan pangiran2 jang djadi ganti kedudukan pangiran ratu maka tuan Sultan mesti dahulu minta kesukaan kepada orang besar di Betawi baru tuan Sultan itu turut adat bagaimana dahulu2 mendjadikan nama pangiran ratu itu serta diwartakan kepada orang2 semuanja.”[29]

Kondisi ini memungkinkan Belanda melakukan campur tangan sesuai dengan kepentingan mereka. Malapetaka terjadi ketika Sultan Adam wafat tahun 1857, Belanda mengangkat Pangeran Tamjid sebagai raja yang baru, meski almarhum sultan melalui surat wasiatnya lebih memilih Pangeran Hidayat.

Dinamika politik istana ini tak berpengaruh banyak terhadap karir Danureja. Selaku pengikut sultan, posisinya tetap kokoh di puncak kekuasaan Banua Lima. Terlebih lagi sultan baru ternyata juga melakukan penindasan terhadap rakyat di sana. Sesuai tradisi, penduduk Alabio, Sungai Banar, dan Kelua setiap tahun diwajibkan mengirim dua ratus orang penduduknya untuk menjadi Pasukan Pengawal Sultan.[30] Namun sejak Tamjid naik tahta, mereka tak pernah lagi mendapat bantuan makanan dan imbalan atas tugas ini seperti masa sebelumnya. Keberatan-keberatan mereka tak dihiraukan sultan.[31]

Pada sisi lain, wafatnya Sultan Adam yang dihormati rakyat itu, sedikit banyaknya memberi dampak pada rakyat Banua Lima. Jika sebelumnya mereka cenderung menghindar (seperti niat pindah mereka ke wilayah Belanda tahun 1854) dari penindasan Danureja, ini mungkin terkait dengan rasa hormat tersebut. Namun dengan kematian sultan tua, mereka seakan tak lagi melihat tembok tebal yang selama ini dijadikan Danureja sebagai “tameng” atas segala kesewenang-wenangannya. Tidak heran apabila sejak itu pergerakan rakyat di daerah ini mulai dijangkiti gejala radikalisme.

Pada bulan Juli 1858 serangkaian kerusuhan pecah di Banua Lima.[32] Jalil dan pengikutnya menolak membayar pajak kepala yang ditarik Danureja pada bulan September. Kasus ini segera dilaporkan Danureja kepada sultan di Banjarmasin. Oleh sultan, Jalil dipanggil sampai dua kali, tapi ia tak pernah menggubrisnya. Ayah Danureja, Kiyai Ngabehi Jaya Negara, mengancam akan menggunakan kekerasan bila pajak itu tidak dibayar. Ancaman ini dijawab Jalil dan pengikutnya dengan memagari rumah-rumah mereka sebagai benteng pertahanan.

Seorang bernama Kuncir menghadap sultan dan menyatakan sanggup menangkap dan membawa Jalil hidup atau mati. Setelah diijinkan, Kuncir segera berangkat ke Amuntai bersama enam orang Panakawan. Tapi justru mereka yang kemudian mati dalam perkelahian melawan Jalil dan pengikutnya.

Kiyai Adipati Danureja kemudian dengan 2000 orang pasukan berangkat ke Batang Balangan untuk menghukum Jalil yang dipandang sebagai pemberontak kerajaan. Namun ekspedisi ini terpaksa dibatalkan karena dilarang Residen di Banjarmasin. Residen memandang tindakan semacam itu menyalahi Perjanjian 1826 yang di antaranya ada menyebutkan, pemberontakan dalam negeri adalah kewenangan Belanda untuk menumpasnya[33].

“Geburmin Nederland berdjandji akan menolong dengan dia punja alat sama Sri Paduka Sultan barangkali ada suatu masa orang mana2 baik orang lain2 negeri jang mau mengerdja djahat sama Sri Paduka Sultan....”[34]

Gerakan Jalil di Tengah Intrik Politik Istana

Frustasi menghadapi Pemberontakan Banua Lima, sultan akhirnya memerintahkan Pangeran Hidayat yang saat itu telah diangkat selaku mangkubumi untuk menyelesaikan kasus tersebut. Sesampainya di Amuntai, mangkubumi bermalam di rumah Jalil dan menerima pengaduan rakyat tentang Danureja selama ini. Untuk itu Hidayat berkeputusan memecat Danureja dan kemudian mengangkat Jalil selaku mantri mangkubumi dengan gelar Kiyai Adipati Anom Dinding Raja, dan kepadanya diberi simbol-simbol kebangsawanan berupa pedang dan tombak berlilit. Atribut mantri ini diperkuat sebuah surat perintah agar ia bertindak atas nama mangkubumi, serta diberi pula sebuah cap mangkubumi.

Manuver politik Hidayat di atas jelas dapat dibaca sebagai upaya menaikkan posisi tawarnya di dalam intrik politik melawan Sultan Tamjid yang didukung Belanda. Hidayat selaku mangkubumi memang mempunyai hak eksekutif untuk mengambil tindakan semacam itu di dalam proses berkerajaan.[35]

Di pihak Jalil, pengangkatannya selaku mantri mangkubumi dengan sendirinya membuat gerakan yang dipimpinnya terlegitimasikan. Ia dan pengikutnya yang sebelumnya diidentifikasi sebagai pemberontak, kini muncul menjadi kekuatan resmi. Seiring dengan jatuhnya kendali pemerintahan Banua Lima ke tangannya, pengaruhnya pun meluas, bahkan menembus batas-batas Banua Lima. Pada permulaan Maret 1859 penduduk daerah Para sampai Banua Belimbing, dan penduduk Balangan sampai Tabalong mengakui kekuasaan Jalil selaku mantri mangkubumi. Dengan bertambah kuatnya kedudukan Jalil yang merepresentasikan kekuasaan mangkubumi, maka pengaruh sultan pun habis sama sekali di daerah ini.[36]

Tersingkirnya Hidayat dari tahta ternyata tidak menghentikan persaingannya dengan Sultan Tamjid, dan ini terefleksikan pada gerakan Jalil. Sebelumnya gerakan ini sangat bercorak lokal dengan penguasa Banua Lima sebagai sasaran, namun dengan keterlibatan Hidayat di dalamnya, gerakan rakyat itu mulai dijangkiti ide-ide revolusioner terhadap kedudukan sultan sendiri. Terbukti, beberapa bulan sesudah pecahnya Perang Banjar (28 April 1859), para ulama dan rakyat Amuntai (peserta gerakan Jalil) menobatkan Pangeran Hidayat sebagai Raja Banjar dengan gelar Sultan Hidayatullah Halilullah, sesuai wasiat Sultan Adam.[37]

Gerakan Jalil Dalam Perang Banjar

Seperti halnya potensi rakyat Banjar lain pada awal tahun 1859, gerakan Jalil pun akhirnya ikut terseret ke dalam huru-hara terbesar di Kalimantan waktu itu, yakni Perang Banjar. Adalah Pangeran Antasari yang berperan dalam mengitegrasikan gerakan rakyat Banua Lima ke dalam front pribumi versusBelanda. Tidak diketahui pasti, kapan sebenarnya Antasari datang ke daerah subur ini. Namun terdapat keterangan ketika pada 27 Maret 1859 Sultan Tamjid mengancam akan menangkap pangeran itu karena ia dicurigai telah bersekongkol dengan Aling, pemimpin rakyat Muning (Tapin), untuk memberontak kepada sultan. Ancaman itu dibalas Antasari dengan jawaban menantang seraya terus mematangkan persiapan perang bersama Aling. Baru setelah ini ia berangkat ke Banua Lima untuk menemui Jalil di Amuntai guna mendapatkan dukungannya.[38]

Apapun halnya, Antasari rupanya berhasil membawa Jalil dan pengikutnya kepada akar permasalahan. Bahwa, segala penindasan yang selama ini mereka terima dari penguasa lokal, sesungguhnya tidak lepas dari politik kolonialisme Belanda di Banua Banjar. Semakin sempitnya wilayah kerajaan yang terus digerogoti Belanda menyebabkan para penguasa lokal tak punya pilihan lain kecuali mengeksploitasi rakyatnya sendiri, demi eksistensi dan prestise keraton. Pemahaman akan hal ini dengan sendirinya menumbuhkan kesadaran nasionalistik di dalam gerakan Jalil yang sosialistik. Lalu pena sejarah pun rajin menuliskan kepahlawanannya.

Bersama Antasari, Jalil berusaha menutup Banua Lima sebagai lumbung padi kerajaan, sehingga barang pangan tak bisa masuk ke Banjarmasin dan Marabahan, dua tempat di mana terdapat pusat pemerintahan kolonial. Petugas-petugas cukai sultan diusir, sehingga pajak lalu lintas barang dari Margasari dan negara jatuh ke tangan mereka.[39] Mungkin karena inilah pada 13 April 1859 sultan melaporkan kepada Residen Von Bentheim, bahwa Jalil telah menahan delapan orang barisan-nya.[40] Dua hari setelah itu, tanggal 15 April, dalam suratnya yang sangat rahasia ke Batavia, residen diantaranya melaporkan, bahwa semua pemasukan dari tempat-tempat pemungutan pajak di Tanah Sultan telah diambil alih oleh para pemberontak.[41]

Kemungkinan masih atas instruksi Antasari ketika Jalil dikabarkan, bahwa ia mengusahakan kepala Dusun Hulu Tumenggung Surapati, penduduk Marabahan, dan Sultan Pasir Pangeran Kesuma, agar memihak kepadanya.[42] Tentang kenapa harus Jalil yang mengemban tugas ini, mungkin karena ia dianggap memiliki akses ke daerah Dayak tersebut. Sebab, seperti yang dilaporkan H.G. Maks, Jalil memiliki hubungan keluarga dengan Pembakal Sulil, salah seorang kepala dari Tanah Dayak dan Dusun. Idwar Saleh menyebut hubungan Jalil dan Sulil adalah ipar.[43]

Khusus dalam kaitan perang, Jalil memang terkesan lebih dekat dengan Antasari, bahkan terdapat petunjuk ia mati sebagai “martir” pangeran itu. Namun kedekatannya dengan Hidayat tetap terjaga. “Sultan” itu bahkan sempat memberinya lagi gelar Tumenggung Macan Negara[44], sebuah gelar monumental bagi Jalil. Sebab, sejak itu ia lebih dikenang sebagai Tumenggung Jalil.

Jalil adalah Pejuang Banjar yang menjadikan sungai, hutan dan gunung di daerah Amuntai, Tabalong, dan Balangan sebagai medan gerilya yang sukar ditaklukkan musuh. Ia bahkan sempat memberi Belanda kekalahan dalam beberapa pertempuran. Namun setelah kurang lebih tiga tahun mengarungi masa perjuangannya nan heroik, Jalil akhirnya harus tunduk pada “takdir sejarah” bahwa ia berada pada pihak yang kalah. Pejuang jaba ini (sebagaimana tergambar pada awal makalah) gugur pada tanggal 24 September 1861 ketika mempertahankan Benteng Tundakan di Awayan dari serbuan serdadu Belanda.[45]

Gerakan Jalil Dalam Persfektif Gerakan Sosial

Pada sebuah tulisannya, Yusliani Noor menyatakan empat komponen yang lazim sebagai pemicu gerakan, antara lain; Struktur Ekonomi Politik, Kepemimpinan, Ideologi, dan Basis Massa.[46] Kita akan menggunakan empat komponen ini untuk menguak karakteristik gerakan Jalil sebagai sebuah gerakan sosial.

1. Struktur Ekonomi Politik

Jika kembali ke penjelasan di muka, dapat diketahui pada abad ke-19 Kerajaan Banjar telah berorientasi ke sistem pertanian, karena kemaritimannya telah dirampas Belanda. Kontrak 1826 dan 1846 berdampak pada kaum bangsawan. Kian menyempitnya wilayah kerajaan karena diambil Belanda menyebabkan tanah-tanah perkebunan (apanase) mereka jadi berkurang. Obyek penderita akhirnya jatuh pada petani[47] melalui pelipatgandaan pajak yang dikenakan pada mereka.

Pada kondisi di atas, terasa relevan apa yang dinyatakan Bambang Subiyakto, bahwa pada tahap historisnya muncul resistensi masyarakat pedesaan yang merupakan menifestasi rasa “keterjajahan” rakyat oleh penguasa asing.[48] Dalam konteks gerakan Jalil, jika pun pada awalnya pihak Belanda justru hendak dituju sebagai tempat menghindar atau berlindung dari beratnya beban pajak dan penindasan penguasa lokal, sebenarnya itu hanyalah persoalan waktu. Ketika hakikat kolonialisme telah disadari sebagai akar permasalahan yang menimpa mereka, maka muncullah gerakan Jalil dalam wajah antagonisnya terhadap penguasa asing tersebut.

2. Kepemimpinan

Dalam sebuah gerakan sosial, faktor kepemimpinan memainkan peranan yang sangat menonjol. Sebagai pemimpin rakyat yang tinggal di pedalaman, Jalil oleh M.Z. Arifin Anis dikatagorikan sebagai salah seorang elit tandingan. Kemunculan elit tandingan menurut Anis seiring dengan merosotnya elit istana[49] dan melemahnya kelas elit ini dalam pandangan Paige menjadi sebab pecahnya sebuah revolusi.[50] Sejalan dengan merosotnya elit istana yang terepsentasikan pada Sultan Tamjid dan Danureja, maka kedudukan elit tandingan semakin kokoh sebagai patron baru bagi rakyat. Kredibilitas mereka salah satunya ditunjukkan dalam kemampuannya berolah kanuragan[51] atau dalam term lokal disebut kajagauan.

Kajagauan Jalil sebagai satu-satunya orang yang berani melawan penindasan Kiyai Adipati Danureja jelas menemukan ruang kosong di hati rakyat Banua Lima yang tidak berdaya oleh penindasan itu. Tidak heran apabila ia kemudian muncul sebagai pemimpin dengan pengikut yang banyak dari kalangan mereka. Sementara itu, penobatan Hidayat sebagai sultan oleh gerakan Jaliltentu dapat dikatagorikan sebagai sebuah revolusi dari kelas bawah (jaba), dan penyebabnya tidak lain adalah karena melemahnya kelas elit (Sultan Tamjid) sebagaimana pendapat Paige di atas.

3. Ideologi

Asfek penting lain di dalam sebuah gerakan sosial adalah ideologi. Mengingat gerakan Jalil muncul pada era kolonialisme Belanda, maka kita dengan mudah menemukan gejala navitisme sebagi ideologi gerakan itu. Sebab, gejala navitisme menurut Sartono Kartodirdjo hanya muncul pada masa penjajahan sebagai reaksi terhadap kekuasaan kulit putih.[52]

Navitisme sendiri adalah bentuk dari pengsakralan gerakan perlawanan untuk kembali ke tradisi. Ini terjadi ketika hegemoni politik dan kebudayaan asing dirasa mengancam identitas pribumi yang terbungkus di dalam tradisi, di samping telah menimbulkan kemelaratan dan degradasi.

Pada gerakan Jalil, perlawanan terhadap Belanda sesungguhnya dapat pula dibaca sebagai upaya penegakkan kembali tradisi itu. Ini terlihat dari proses penobatan Hidayat sebagai sultan oleh rakyat Banua Lima. Dalam hal ini mereka seakan mengabaikan realitas politik, bahwa Kerajaan Banjar masa itu telah menjadi “milik” Belanda.[53] Dalam “kondisi normal” proses suksesi itu seharusnya melibatkan bangsa Barat itu untuk dikonsultasikan. Namun sebagai bentuk perlawanan, melalui peristiwa tersebut rakyat Banua Lima seakan ingin meromantiskan masa lalu mereka, ketika kehidupan istana masih steril dari campur tangan asing.

Seiring dengan dinobatkannya Hidayat, ibukota kerajaan dipindahkan ke Amuntai, suatu tempat yang kebetulan dahulunya adalah pusat Negara Dipa, cikal bakal Kerajaan Banjar. Berpindahnya istana dari Martapura ke Amuntai seakan menunjukkan “pulangnya” Kerajaan Banjar ke masa lalu, ke pangkuan “ibu” yang melahirkannya.

Kuatnya nuansa kemasalaluan di atas, memperlihatkan adanya gejala navitisme di dalam gerakan Jalil.

4. Basis Massa

Gerakan Jalil tumbuh di Banua Lima, daerah pertanian utama kerajaan. Fakta ini membuat kita dapat menduga, bahwa seperti umumnya sebuah gerakan sosial, gerakan Jalil pun berbasiskan petani di pedesaan. Faktor penyebab utama dari bangkitnya gerakan itu adalah beratnya beban pajak yang dikenakan kepada para petani. Dengan ditambah kesewenangan kepala daerah mereka, maka semakin lengkaplah alasan petani Banua Lima memilih jalan pemberontakan sebagai saluran protes mereka.

Petani, kata Joel S. Migdal, yang sering digambarkan sebagai masyarakat yang melulu bekerja di sawah, apatis, fatalistik, mendahulukan keluarga ketimbang kepentingan ekonomi, dan tidak mempunyai orientasi ke depan, sekonyong-konyong melakukan aksi protes, pemberontakan, sehingga mengejutkan dunia luar.[54] Fenomena ini menurut M.Z. Arifin Anis dapat memperlihatkan, bahwa petani ternyata turut memainkan peranan penting dalam transformasi sosial dan politik, serta cukup potensial untuk membangun suatu perubahan secara radikal.[55]

Jika dikaitkan dengan gerakan Jalil, pendapat Anis di atas barangkali dapat dibuktikan dengan beberapa hasil gerakan, seperti terdepaknya Danureja dari konstelasi politik Banua Lima, tidak efektifnya kekuasaan Sultan Tamjid di wilayah itu, serta terancamnya kebutuhan pangan Belanda dengan pemblokiran Banua Lima sebagai lumbung padi kerajaan. Namun kemenangan terpenting dari sudut pandang adat dan tradisi adalah dengan ternobatkannya Pangeran Hidayat sebagai sultan oleh rakyat. Dalam hal ini, rakyat yang telah kenyang oleh penderitaan itu terjelma menjadi sebuah ancaman potensial bagi eksistensi Belanda sebagai pemegang otoritas politik untuk urusan semacam itu.

Gerakan Jalil Dalam Lanskap Tradisi

Seperti telah terurai sebelumnya, dalam proses pelegitimasiannya, gerakan Jalil diwarnai oleh adanya interaksi Jalil selaku pemimpin gerakan dengan Pangeran Hidayat, seorang pangeran yang tersingkir dari tahta kerajaan. Hubungan mereka merefleksikan interaksi dua golongan yang selalu ada di dalam tradisi politik masyarakat Banjar, yaitu antara kaum jaba dengan kaum bangsawan.

Tradisi ini bermula ketika Ampu Jatmika membuat sepasang patung di Candi Agung yang dianggap sebagai wakil dewa di dunia untuk melegitimasi kekuasaannya di Negara Dipa. Sesudah penguasa pertama ini meninggal, posisi sepasang patung itu digantikan oleh pasangan Putri Junjung Buih dan Pangeran Suryanata sebagai sumber legitimasi politik bagi Patih Lambung Mangkurat. Dari keturunan pasangan raja itulah tercipta kaum bangsawan Banjar yang kemudian terdikotomi dengan kaum jaba selaku golongan rakyat biasa.

Hubungan kedua golongan itu bersifat vertikal, antara yang diabdi dengan pengabdi. Dalam kaitan ini, gerakan Jalil sebetulnya bukanlah kasus unik dalam sejarah Banjar. Pada abad ke-16 ketika kerajaan Negara Dipa telah digantikan Negara Daha, saat itu di Banjarmasih, sebuah kampung di daerah pesisir tumbuh sebuah gerakan yang juga dipelopori oleh kaum jaba. Serupa dengan gerakan Jalil, kemunculan gerakan itupun disebabkan oleh adanya penindasan ekonomi berupa pupuan (upeti) yang dilakukan elit kerajaan. Terkisah dalam forklor populer, Patih Masih sebagai kepala Banjarmasih berhasil menggalang kekuatan bersama empat kepala suku Ngaju yang mendiami empat kampung yang berdekatan dengan Banjarmasih. Mereka yang tergabung dalam front pesisir ini bersepakat untuk bangkit melawan Negara Daha yang berada di pedalaman. Perlawanan perlu dilakukan, sebab menurut Patih Masih: “daripada kita masih menjadi desa senantiasa kana sarah dangan pupuan maantarakan kahulu…”

Untuk melegitimasi gerakan itu, Patih Masih cs kemudian menghubungi Pangeran Samudra, seorang pangeran yang tersingkir dari tahta Negara Daha. Ini tergambar dari sambungan ucapan sang patih: “…hangir kita barbuat raja (membuat kerajaan baru) kalau ia ini (Pangeran Samudra) yang saparti chabar orang itu cucu Maharaja Sukarama yang diwasiatkannya manjadi raja.”

Singkatnya, gerakan Patih Masih yang kemudian dibantu Kesultanan Demak berhasil merevolusi Kerajaan Hindu Daha menjadi Kerajaan Islam Banjar dengan Banjarmasih (kelak disebut Banjarmasin) sebagai ibukota. Sesuai wasiat kakeknya, Pangeran Samudra kemudian dinobatkan sebagai raja dengan gelar Sultan Suriansyah.

Seperti terbentuknya Negara Dipa, terbentuknya Kerajaan Banjar pun ternyata dipelopori oleh kaum jaba. Sementara Pangeran Samudra yang merepresentasikan kaum bangsawan berposisi sebagai pelegitimasi atas kerajaan baru tersebut. Sama halnya dengan Lambung Mangkurat, Patih Masih juga berkedudukan selaku mangkubumi kerajaan.

Kurang lebih tiga abad berikutnya, pola interaksi semacam itu kembali terlihat dalam gerakan Jalil, di mana Jalil tampil sebagai wakil kaum jaba, dan di pihak bangsawan tampil Pangeran Hidayat. Senasib dengan Pangeran Samudra, Hidayat pun adalah seorang pangeran yang tersingkir dari tahta. Jika gerakan Patih Masih terlegitimasi ketika berhubungan dengan Pangeran Samudra, hal itu pun terjadi pada gerakan Jalil ketika ia berhubungan dengan Pangeran Hidayat. Serupa pula dengan Pangeran Samudra yang dinobatkan sesuai wasiat kakeknya (Maharaja Sukarama), Hidayat pun dinobatkan berdasarkan wasiat kakeknya (Sultan Adam).

Satu hal yang cukup menonjol dari proses “berkerajaan” di dalam gerakan Jalil adalah dominannya peranan kaum jaba. Sebenarnya selain Hidayat selaku sultan, ada lagi elit bangsawan yang menduduki kedudukan penting, yakni Pangeran Wira Kesuma sebagai mangkubumi[56], namun peran tokoh ini seperti tenggelam oleh dominasi Jalil, si jaba yang hanya menjabat Kiyai Adipati.[57]

Dominannya peranan kaum jaba ini sesungguhnya hanya ada pada Kerajaan Banjar pada masa awal dan menemukan idealisasinya pada zaman legendaris Negara Dipa. Tidak heran jika kita menemukan banyak kesamaan antara gerakan Jalil dengan gerakan Patih Masih seperti tergambar di atas. Meski kedua gerakan ini dipisahkan oleh rentang waktu yang sangat panjang, namun keduanya diikat oleh tradisi politik yang sama, yaitu tradisi Negara Dipa. Namun demikian, tidak seperti gerakan Patih Masih yang sanggup melestarikan hasil revolusinya selama berabad-abad, gerakan Jalil gagal dalam hal yang sama.

Kegagalan itu terutama disebabkan oleh berubahnya realitas politik di tengah masyarakat Banjar. Patih Masih berhasil dengan gerakannya, karena pada masa ia hidup sumber legitimasi politik masih berada di tangan kaum bangsawan. Sedangkan pada masa Jalil, legitimasi itu ternyata harus pula dicari dari sumber baru, yaitu Pemerintah Belanda. Penguasa kolonial ini sejak akhir abad ke-18 berhasil secara resmi menempatkan diri sebagai “kaum ketiga” di dalam “stratifikasi politis” masyarakat Banjar. Ketika tak ada restu dari “kaum ketiga” ini terhadap gerakan Jalil, maka buyarlah segala cita-cita gerakan. Kedudukan kaum bangsawan pada masa itu rupa-rupanya tak lagi sakti sebagai “wakil dewa” di dunia, sehingga fungsinya sebagai sumber legitimasi politik tak lagi ampuh di dalam realitas.

Memang, realitas baru pada masa itu sudah terlanjur rapuh untuk menjadi pondasi bagi tegaknya tradisi lama. Tamat.

Disampaikan sebagai makalah pada seminar Sosialisasi Permuseuman, Sejarah dan Kebudayaan untuk Guru Bidang Studi IPS di Aula Disdikbud Kab. Hulu Sungai Utara, Amuntai Kalimantan Selatan 3 Juni 2013

Catatan:

*Saya amat berterimakasih jika ada kawan yang memosting ulang tulisan ini seperti postingan saya terdahulu “Geger Nasional karena Pentas Lokal (Pidato Soekarno di Kota Kecil)” melalui blog-blog pribadi atau media lain. Tapi kali ini tolong cantumkan nama penulisnya, agar kita terhindar dari praktik plagiatisme yang jelas melanggar etika intelektual. Terimakasih. Salam.

[1] Berkenaan dengan keberadaan Antasari di Benteng Tundakan, ada keseragaman antara Gazali Usman, 1994, Kerajaan Banjar Sejarah Banjar Politik Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam, Lambung Mangkurat University Press. Banjarmasin (lihat hal 259), Panitia Penjusun (Jusni Antemas, H. Abdul Muthalib, M., dan Amir Husaini Zam-Zam), 17 tahun Kabupaten Hulu Sungai Utara 1952-1969 (lihat hal 60), dan Idwar Saleh, 1991, Perang Banjar 1859-1865 (Makalah), Diselenggarakan Ruang Auditorium Museum Negeri Propinsi Kalimantan Selatan Lambung Mangkurat Banjarbaru pada Jum’at 15 Maret 1991, Seksi Bimbingan Edukasi (lihat hal 22). Secara spesifik Panitia Penjusun menyebut Antasari kebetulan berada di sana pada hari pertempuran (lihat hal 61).

Di sisi lain, Gusti Mayur, 1979, Perang Banjar, CV Rapi Banjarmasin (lihat hal 98) hanya menyebutkan Antasari dan puteranya Gusti Muhammad Said pernah datang di Tundakan dan memberikan senjata lila serta senapan. Sementara Helius Sjamsuddin, 2001, Pegustian dan Temenggung: Akar Sosial, Politik, Etnis, dan Dinasti, Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906, Balai Pustaka Jakarta (lihat hal 210) menyebutkan, Tundakan adalah benteng pengikut Antasari yang harus ditaklukkan Belanda sebelum mereka melaksanakan ekspedisi kedua ke Benteng Antasari di Gunung Tongka. Oleh Panitia Penjusun, Benteng Tundakan bahkan disebut sebagai bukti sejarah perjuangan Antasari di daerah HSU. “Hal demikian,” tulis mereka, “... njata tertjatat dalam dokumentasi Belanda.”

[2] Tentang dipukulmundurnya Belanda dari Tundakan dapat dilihat pada Gazali Usman (hal 259-260) dan Gusti Mayur (hal 98). Dilukiskan oleh Panitia Penjusun (hal 162-163): “...serangan militer Belanda dapat ditangkis dan dapat dipukul mundur dengan kekalahan besar. Di antaranja dapat dirampas beberapa putjuk bedil dengan obatnja serta 120 orang kuli Belanda melarikan diri memihak pada Pangeran Antasari. Demikian antara lain dokumentasi tsb...”

Di dalam bukunya Lukisan Perang Banjar 1859-1865 (1985). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Kebudayaan Pengembangan Permuseuman Kalimantan Selatan. Banjarbaru, Idwar Saleh menyebut Benteng Ramonia yang terletak di Hulu Sungai Utara juga bentengnya Tumenggung Jalil ( lihat hal 54)

Dari yang ditulis Helius pun (lihat hal 210) dapat disimpulkan, Benteng Tundakan bersama Benteng Ramonia (Tanjung Alang) tergolong target yang sulit ditaklukkan. Sebab ekspedisi II ke Gunung Tongka yang direncanakan pada September 1861 baru dapat dilaksanakan Belanda pada November karena mereka harus menaklukkan kedua benteng tersebut terlebih dahulu. Jadi, dipukulmundurnya Belanda pada 24 September itu bisa difahami sebagai proses penaklukkan yang sulit, kendati seperti benteng rakyat lain, Tundakan pun akhirnya jatuh juga ke tangan mereka.

[3] Tentang tanggal kematian Jalil seperti yang kami kutip di atas, hanya Panitia Penjusun (hal 163) dan Gazali Usman (hal 260) yang menyebutkannya. Idwar Saleh dalam Perang Banjar (hal 26) dan Lukisan Perang Banjar (hal 23) hanya menyebutkan dengan tanpa keterangan waktu “Jalil mati karena luka-lukanya dalam pertempuran.” Sementara Helius tidak menyinggung episode ini.

[4] Gazali Usman, Op.cit (hal 260). Tentang dibongkarnya kubur Jalil, tengkoraknya diambil, dan jasadnya dihancurkan, kecuali Gusti Mayur, Helius, dan Panitia Penjusun, semua sumber di atas menyebutkan hal itu. Soal mengamuknya Jalil ke tengah-tengah musuh ditulis oleh Gazali Usman (lihat hal 260), sedangkan tentang bagaimana cara Jalil mengamuk, deskripsinya hasil interpretasi saya sendiri berdasarkan data-data di atas.

[5] Helius Sjamsuddin. Op.Cit. Hal 100

[6] Forklor (cerita rakyat) sebagai oral tradisition masyarakat Banjar ini aslinya bernama Tutur Candi. Dari koleksi Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru terdapat Kitab Tutur Candi dengan penulis anonim. Kemungkinan kitab serupa yang didisertasikan oleh A.A. Cense dengan judul “De Kroniek van Banjarmasin”, Amsterdam, 1928, atau yang juga didisertasikan J.J. Ras dalam judul “Hikayat Banjar: Study in Malay Historiography”, The Hague, 1968

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline