Ditulis oleh Normina
Ekonomi Pembangunan
Universitas Lambung Mangkurat
Pembangunan ekonomi pertanian di Indonesia telah mengalami berbagai fase, mulai dari era kolonial hingga masa modern saat ini. Setiap fase memberikan kontribusi signifikan dalam membentuk struktur dan dinamika sektor pertanian. Dalam artikel ini, kita akan mengulas lima fase utama dalam pembangunan ekonomi pertanian di Indonesia, syarat-syarat pembangunan menurut Mosher, serta tantangan yang akan dihadapi di masa depan.
Fase 1: Era VOC dan Cultuurstelsel
Pada abad ke-17, Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) mendominasi perdagangan dan ekonomi di Nusantara. Sistem pertanian pada masa ini sangat dipengaruhi oleh monopoli dan eksploitasi. VOC memfokuskan pada komoditas perdagangan seperti rempah-rempah yang memiliki nilai tinggi di pasar Eropa. Namun, pada awal abad ke-19, setelah jatuhnya VOC, pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan sistem tanam paksa atau cultuurstelsel. Dalam sistem ini, petani dipaksa menanam komoditas tertentu seperti kopi, tebu, dan indigo untuk diekspor ke pasar internasional. Sistem ini sangat memberatkan petani dan menimbulkan penderitaan yang meluas, tetapi juga menghasilkan pendapatan besar bagi pemerintah kolonial.
Fase 2: Sistem Kapitalis Liberal
Pada akhir abad ke-19, kebijakan ekonomi kolonial berubah ke arah kapitalisme liberal. Belanda membuka peluang bagi investor swasta untuk mengembangkan perkebunan di Indonesia. Perkebunan besar mulai dibangun untuk tanaman seperti teh, karet, dan kopi. Sistem ini membawa modernisasi di sektor pertanian dengan pengenalan teknologi baru dan teknik budidaya yang lebih efisien. Namun, fokus pada perkebunan besar seringkali mengabaikan kebutuhan dan kesejahteraan petani kecil. Ketimpangan ekonomi meningkat, dan sebagian besar keuntungan dari sektor pertanian tetap berada di tangan perusahaan-perusahaan asing.
Fase 3: Reformasi Agraria
Setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintah mulai fokus pada reformasi agraria untuk mengatasi ketimpangan tanah dan meningkatkan kesejahteraan petani. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 menjadi landasan hukum bagi redistribusi tanah dan perjanjian bagi hasil. Reformasi ini bertujuan untuk memberikan akses yang lebih adil terhadap sumber daya lahan dan meningkatkan produktivitas pertanian. Redistribusi lahan memberikan petani kepemilikan dan kontrol yang lebih besar atas tanah mereka, yang diharapkan dapat mendorong peningkatan produksi dan kesejahteraan. Perjanjian bagi hasil antara pemilik lahan dan penggarap juga diperkenalkan untuk memastikan distribusi pendapatan yang lebih adil.
Fase 4: Revolusi Hijau