Lihat ke Halaman Asli

Manusia Pencari Kebenaran

Diperbarui: 20 Maret 2016   21:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

MANUSIA PENCARI KEBENARAN

Norman Yudha Setiawan[1]

 

Manusia pada dasarnya diberikan kemampuan untuk berpikir, dan dengan berpikir maka kemudian ia berusaha untuk memberitahukan pikirannya kepada orang lain. Penyampaian pikiran tersebut, tentunya ingin membuat lawan bicara menjadi tahu isi dan maksud yang ada di dalam pikiran kita. Maka, sudah sewajarnya manusia membutuhkan bahasa.

Filsuf Perancis, Rene Decartes dalam hipotesis nuraninya mengatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk berbahasa. Dengan kata lain, manusia telah diciptakan menjadi makhluk berbahasa.[2] Kemampuan tersebut ternyata sudah dituntut oleh alam sejak jaman dahulu. Bentuk komunikasi mula-mula ini dilakukan dengan berbagai cara seperti gerak tubuh, tulisan lambang-lambang pada dinding batu, gambar-gambar yang seperti bercerita, tarian penyembahan kepada dewa-dewi, dan juga bersuara. Menurut Von Herder, yang merupakan seorang filsuf Jerman, bahasa berasal dari onomatope, tiruan bunyi. Hal tersebut terkait erat dengan teori bow-wow yang menyatakan bahwa bahasa timbul sebagai akibat dari tiruan bunyi terhadap alam.[3] Namun kita perlu ingat bahwa dalam konteks keagamaan, manusia pertama adalah Adam dan Hawa. Lalu yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, mereka menggunakan bahasa apa?

Berbagai anggapan muncul dengan sendirinya. Tidak sedikit yang mengatakan bahwa bahasa berasal dari Tuhan, yang berarti sejak kemunculannya manusia sudah dapat berbahasa. Pernyataan tersebut kemudian ditentang oleh Von Herder yang mengatakan bahwa bahasa tidak mungkin berasal dari Tuhan, karena bahasa itu sedemikian buruknya tidak sesuai dengan logika sedangkan Tuhan Maha Sempurna. Para penganut Teori Darwin yang mengatakan bahwa manusia berevolusi dari monyet/kera, tentunya juga tidak akan setuju dengan anggapan di atas.

Seiring dengan berkembangnya jaman dan pemikiran manusia yang semakin kompleks, maka bahasa turut serta menjadi kompleks. Pikiran yang rumit harus dapat dibahasakan secara sederhana agar orang lain mengerti. Maka, dengan sendirinya buah pikiran dapat tersalurkan kepada orang lain. Namun tidak jarang bahwa bahasa menjadi suatu hal yang rumit, bahkan sering kali tidak dapat dimengerti dan menghasilkan suatu kesalahpahaman maksud. Hal itu tidak terlepas dari tempat-tempat yang memiliki ciri bahasanya sendiri, nada bahasanya sendiri, serta susunan bahasanya dan bahkan pergeseran makna yang terikat dengan perkembangan jaman. Contoh sederhana adalah kata ‘anjing’ yang saat ini bukan hanya bermakna hewan mamalia yang mengalami domestikasi dari serigala, bisa menggonggong, memiliki penciuman yang tajam, dan seterusnya. Juga bukan hanya sebagai bentuk penghinaan terhadap seseorang, tapi kini menjadi sebuah bentuk kedekatan dan sapaan bagi anak-anak muda.

Sejarah mencatat, dan kita mengakui, bahwa bahasa adalah suatu kebudayaan yang sangat mahal harganya. Maka kebutuhan akan bahasa menjadi kebutuhan bagi hampir semua orang di dunia. Bahasa hadir sejak kita masih sangat kecil. Panggilan ‘mama’ atau ‘papa’ adalah pelajaran pertama kita tentang bahasa, yang disusul dengan pelajaran di sekolah, seperti ‘ini Budi, ini ibu Budi’ dan lain sebagainya hingga akhirnya kita dapat berbahasa dengan cukup baik. Pada saat itu, jika kita ingat kembali masa-masa belajar kita, kita hadir sebagai seorang manusia yang tidak terbiasa. Kita bahkan sulit sekali membaca, dan sulit berbicara.

Dari bahasa, kita lalu mengenal sastra. Sastra membutuhkan bahasa agar ia menjadi sastra. Namun perlu digarisbawahi bahwa sastra berbeda dengan bahasa. Secara filosofis, Sophan Adjie mengatakan bahwa bahasa bisa digunakan untuk mengungkapkan apa pun juga, dan dengan banyak cara, namun bahasa yang dimainkan untuk semata-mata mengeksplorasi imajinasi, mengoptimalisasi kekuatan kata, dan menyeret ruh pada petualangan batinnya yang terdalam, itulah yang dalam arti luas, biasa disebut ‘sastra’.[4] (cetak miring sesuai asli). Maka kemudian, sastra merupakan tingkatan selanjutnya dari pelajaran bahasa. Sebagai seorang yang baru kali pertama, sangat wajar apabila dalam pelajaran ini kita menjadi sama seperti anak kecil yang terkesan ba-bi-bu, atau masih sulit membaca, bicara, juga menulis. Kita, kembali kepada posisi awam bahasa.

Bahasa tidak dapat dipersamakan dengan sastra. Kata-kata yang indah tidak otomatis menjadi sastra. Sastra hadir bukan hanya sebagai bentuk aesthetics, estetis, yang berarti ia bukan hanya sekedar selera, perspektif ataupun keindahan belaka. Ada makna yang harus dapat digali. Makna inilah yang menampilkan kebenaran, yakni kebenaran eksistensial. Seorang sastrawan, harus mampu untuk merampas sesuatu dari ketiadaan dan menunjukan bahwa suatu yang tadinya tiada, bisa menjadi ada. Ia harus berani terbebas dari pengaruh dunia, namun sekaligus hadir di dalamnya. Sastra sebagai bagian dari seni, harus dapat mengambil peran dalam dunianya itu.

Patut disayangkan bahwa sastra saat ini mendapatkan penurunan nilai. Penurunan nilai yang saya maksud di sini adalah, bahwa sastra hadir sebagai hiasan belaka, pemanis, dan terkadang hanya sebagai kata-kata indah tanpa makna. Ia menjadi sepi akan kritik yang bersifat kesusasteraan. Sastra menjadi bungkam. Ia tidak lagi mencari suatu kebenaran yang baru, namun hanya sebagai mimesis, peniruan, terhadap suatu yang telah ada dalam rangka mempercantik diri. Sesuatu yang tanpa makna seperti itu tidak memerlukan upaya-upaya pembenaran dan kajian yang mendalam. Ia bahkan boleh diletakkan di suatu tempat di ujung jalan yang seringkali dikunjungi oleh keluarga besar lalat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline