Siapa yang tidak butuh uang. Malah ada syair lagu yang menyebut begini: lagi lagi uang. Uang bisa membuat segalanya...dan seterusnya. Jreng...jreng...jreng!
Di pungkiri atau tidak ternyata jurnalisme terkadang akrab dengan pemberian, hadiah, amplop, freebies atau apa pun namanya kepada wartawan, praktik lainnya yang merupakan dekatnya adalah jurnalisme uang.
Di dunia politik dikenal politik uang atau "money politics". Ternyata pers juga mengenal "money journalisme" atau dalam pers Barat dikenal sebagai "checkbook journalism".
Yang selama ini kita kenal terkait dengan jurnalisme uang adalah sumber berita yang memberikan hadiah atau amplop berisi uang kepada wartawan atau media. Tetapi jangan salah terkadang media juga kerap memberikan uang kepada nara sumber agar media mendapat berita eksklusif.
Dulu pernah ada tayangan rekaman video tentang praktik kekerasan di sebuah sekolah ikatan dinas sebuah kementerian. Sebuah stasiun televisi mendapatan rekaman video tersebut. Dan hanya stasiun televisi itu saja yang mendapatkan rekaman video berisi tayangan bagaimana senior di sekolah ikatan dinas tersebut menyiksa yuniornya. Mulai dari tamparan hingga tendangan mendarat di tubuh para yunior itu. Itu terjadi September 2003 lalu.
Masyarakat pun heboh. Sang menteri pun akhirnya turun tangan.
Di balik tayangan eksklusif tersebut beredar kabar bahwa stasiun televisi itu memberikan imbalan agar kopi video rekaman itu hanya untuk stasiun televisi yang bersangkutan dan jangan diberikan kepada media lain.
Jauh sebelumnya Wakil Ketua MPR/DPR dulu Djaelani Naro pernah bikin heboh. Pada Sidang Umum MPR 1988 mengajukan diri sebagai calon wakil presiden. Sesuatu yang menjadi barang langka di masa Orde Baru. Media pun memburu untuk wawancara eksklusif dengan politikus kawakan Partai Persatuan Pembangunan itu. Namun Djaelani Naro bersedia wawancara eksklusif jika dibayar 5.000 dolar AS (jika tidak salah) soal pencalonan dirinya sebagai calon presiden saingan calon wakil presiden lainnya Soedharmono.
Mungkin Jaelani Naro tahu bahwa media juga harus membayar jika ingin mendapatkan berita eksklusif.
Masalahnya: apakah hal demikian dibolehkan? Apakah masih pantas dilakukan hanya untuk mengejar tayangan eksklusif? Bagaimana jika informasi itu sangat terkait kepentingan publik?
Di pers Barat memberikan sejumlah uang untuk mengejar eksklusif bukan hal yang baru. Dulu pernah sebuah majalah terkenal menayangkan buronan FBI di cover majalahnya. FBI sudah mencari buronan tersebut ke mana-mana tetapi tiba-tiba buronan itu tampil menjadi cover di majalah tersebut.