Lihat ke Halaman Asli

Sepenggal Kisah Penjual Kopi Keliling dan Anaknya

Diperbarui: 25 Juli 2021   18:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penjual kopi keliling dengan sepeda bersama dua anaknya di jalan menuju Stasiun Pondok Cina. (Foto: Norman Meoko)

Siapa yang tidak tahu Stasiun Pondok Cina? Stasiun kereta api yang satu ini akrab dengan mahasiswa yang kuliah di seputar Depok. Namun, siapa nyana di balik stasiun yang menempel dengan Kampus Universitas Indonesia (UI) itu terselip pelbagai kisah perjalanan hidup manusia yang berusaha untuk bertahan hidup.

Kini di tengah pandemi Covid-19, ketika mencari lembaran rupiah semakin sulit saja. Lalu lalang penumpang yang turun dari Stasiun Pondok Cina menipis. Kesibukan mahasiswa juga menyepi karena kampus sibuk dengan kuliah daring: zooming, google meet dan tetek bengeknya.

Jalan menuju Stasiun Pondok Cina bagi saya adalah sebuah kehidupan. Tidak cuma ojek konvensional atau ojol yang kini berdamai mangkal menanti penumpang. Ada juga warung kopi, barber shop, penjual masker. Belum lagi tukang siomay. Ada juga mi ayam bahkan jersey sepak bola klub ternama di dunia juga dijual di sana.

Ada pula tuna netra dengan speaker aktifnya bersuara emas persis di belakang gerobak pedagang bakso tusuk. Ada juga anak-anak penjual tisu yang menjajakan jualannya sambil menyodorkan wajah memelas. Ada pengemis yang menyodorkan bayinya agar rupiah demi rupiah mengalir deras. Sang bayi sengaja atau tidak dibuat tertidur pula.

Singkat kata: perjalanan menuju Stasiun Pondok Cina dari mulut jalan hingga depan stasiun adalah kehidupan bagi orang-orang kecil.  Begitu juga bagi seorang ayah penjual kopi keliling dengan sepeda tuanya, diiringi dua anaknya - sepasang. Saya pernah suatu ketika bertemu dan sengaja jalan tidak mendahului mereka. Saya membuntuti dari belakang.   

Sang perempuan kakaknya dan sang bocah lelaki adiknya. Mereka menggandengkan tangan. Saban sore ketika ingin balik ke Grand Depok City, saya bertemu ayah penjual kopi keliling ini ditemani dua anaknya. Mungkin si ayah ingin mengajarkan kepada anaknya bagaimana seharusnya hidup; bagaimana semestinya "berada di jalan Tuhan" untuk sesuap nasi agar jalan yang ditapaki makin panjang dan tak berujung.

Sepanjang jalan menuju Stasiun Pondok Cina yang dilalui ayah penjual kopi keliling bersepeda itu adalah hamparan rezekinya berikut keluarga. Sulit dibayangkan ketika masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini!

Kehidupan menuju Stasiun Pondok Cina tiba-tiba kini menjadi sepi. Lonceng kematian seakan berdentang keras sekali. Toko-toko penjual asesoris barang elektronik tiba-tiba menutup diri. Sepi dan sepi kini membalut jalan menuju Stasiun Pondok Cina. Roda kehidupan terhenti. Jalan pemberi rupiah demi rupiah itu kini membeku seperti wajah yang pucat pasih

Ya, jalan menuju Stasiun Pondok Cina adalah kehidupan.  Jalan menuju Stasiun Pondok Cina adalah harapan hidup bagi segelintir orang karena di sana banyak pembeli. Di sana ada rezeki. Di sana rupiah menari-nari untuk singgah. Tetapi kini semua berubah ke titik nol!

Bagaimana dengan sang ayah penjual kopi keliling dengan sepeda dan kedua anaknya itu? Pikiranku terus melayang ke ayah penjual kopi keliling dan kedua anaknya itu. Bagaimana dengan dua anaknya yang setiap hari ikut mengantar sang ayah mengais rezeki dari kopi saset dan termos berisi air panas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline