Lihat ke Halaman Asli

Pak Edi dan Wajah Muram Surat Kabar

Diperbarui: 24 Juli 2021   17:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                  Pak Edi penjaja koran di perempatan Siliwangi Depok. (Foto: Norman Meoko)

                                  

Ketika teman-teman saya yang masih bergelut dengan surat kabar atau koran mulai mengeluh karena perlahan tetapi pasti mulai tergerus zaman: era banjir informasi! Media sosial kini menjadi raja dan media arus utama mulai tertatih-tatih, saya malah teringat kepada sosok Pak Edi. Namanya cukup singkat karena hanya tiga huruf dan mudah diingat.

Pak Edi bukan siapa-siapa. Ia hanya orang kecil dengan hidup yang selalu dibalut kepasrahan menantang hidup. Pak Edi adalah penjaja koran di perempatan Siliwangi Depok.

Usianya sudah kepala tujuh. Saya mencoba mencari wajah Pak Edi di telepon genggam saya. Akhirnya bersama dengan detak jarum jam yang sudah melewati petang, foto penjaja koran itu ketemu juga.

Dalam foto yang saya abadikan dua tahun itu Pak Edi tidak sedikit pun senyum. Panas terik di perempatan Siliwangi Depok mungkin membuatnya sulit untuk tersenyum. Atau memang itulah Pak Edi yang sulit menebar senyum. Dia hanya memegang Koran Tempo. Ya, Koran Tempo di antara hamparan koran-koran lainnya. Mungkin karena bentuknya lebih ramping sehingga koran itu dipanjang di depan koran-koran lainnya.

Kini, setiap saya melaju melewati perempatan Siliwangi Depok tak lagi menemukan sosok Pak Edi yang biasa menjajakan koran di sebuah lapak kecil beberapa meter dari perempatan Siliwangi ke arah Stasiun Depok. Serasa hampa: seperti ada yang hilang ketika melewati jalan itu kini. Pak Edi dan lapak kecilnya sudah tak ada lagi. Bahkan, sudah dua tahun: waktu yang sebenarnya tak lama-lama juga.

Bagi saya yang besar di media cetak terutama koran sosok Pak Edi adalah ibarat ikan dengan air. Sulit dipisahkan! Tanpa Pak Edi rasanya sulit rasanya koran sampai di tangan pembaca. Pak Edi hanya satu dari sekian mereka yang hidup dari menjajakan koran. Mereka meneruskan roda kehidupan karena koran-koran tersebut. Ada yang akhirnya sukses menyekolahkan anak hingga sarjana dari menjajakan koran. Bahkan, mungkin lebih dari itu.

Tapi kini semua sudah berubah. New media entah apa namanya itu telah mengubah segalanya. Orang kini bisa mengikuti dari satu peristiwa ke peristiwa hanya melalui jari-jemari melalui gadget. Koran tiba-tiba menjadi anak tiri di tengah-tengah pembaca. Saudara tua yang tampaknya semakin ditinggalkan.

Pak Edi adalah satu di antara penjaja koran yang tiba-tiba seperti disuguhkan air tuba. Orang mulai meninggalkan koran. Mereka berpaling dari saluran komunikasi tertua itu. Teknologi informasi telah menghempaskan rezeki Pak Edi serta teman-teman sejawatnya. Mereka tiba-tiba dilupakan, kini.

Apakah karena perubahan itu kini Pak Edi tak menjajakan koran lagi. Ke mana dia kini berlabuh? Ada sesuatu menimpa dirinya? Deretan pertanyaan itu ibarat peluru yang membabi-buta keluar dari moncong meriam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline