Sebatang riuh angin pedihkan mata
derai air mata berjatuhan di tanah pipi
namun segera tersapu sang bayu
jemari lentik mencolok kelopak
gelaplah sudah pandangan hati
robohkan pandangan
kaburkan perintah
rupa yang abstrak itu selalu muncul tak tentu waktu
menerjang kapan saja
tak peduli basah atau keringnya hati
ia lumat semua sisakan puing-puing saraf yang terpecah