Lihat ke Halaman Asli

M Noris Al Pratama

sebuah utas untuk menyampaikan pendapat dengan sangat serius

Kamu Kira Rezeki Itu Apa?

Diperbarui: 16 April 2020   23:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada taman kanak-kanak mungkin kita pernah ditanya “saat dewasa ingin menjadi apa”. Tidak sedikit atau sering kali kita akan menjawab sebuah profesi yang biasa kita lihat seperti; polisi atau tentara, dokter atau perawat, guru atau dosen; atau yang ekstrim, kyai.

Rata-rata orang tua di Indonesia pasti menginginkan anaknya lebih baik dari dirinya. Tapi sayang pertimbangan itu hanya berdasar standar ekonomi saja. Penilaian atau hasil akhir berdasar seberapa besar gaji yang diterima. Tidak bisa dielak bahwa hanya itu yang bisa dilihat secara nyata oleh orang awam kebanyakan. Nominal, nominal dan nominal.

Terkadang lucu, sesuatu yang kita kerjakan dihargai secara nominal tapi penyebutannya nilai. Ini mungkin budaya yang tidak semuanya bisa dibenarkan dan diteruskan. Bahwa nominal dan nilai adalah suatu hal yang sama tapi berbeda kepentingan. Semisal nominal seratus ribu akan tetap dihadapan orang yang berkecukupan atau kekurangan. Tapi ia akan berbeda nilainya dihadapan orang yang mempunyai gaji satu juta perhari dengan seratus ribu perhari.

Muncul pertanyaan “kaya tidak membuat bahagia, miskin tapi bahagia, pilih mana?”. Sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab jika mempunyai konsekuensi yang memiliki kekontrasan. Contoh adalah orang yang kaya raya, gaji diatas 30 juta perbulan tapi mempunyai penyakit diabetes sehingga tidak dibolehkan memakan makanan yang mengandung rasa manis. 

Atau orang yang mapan tapi mempunyai masalah pada keluarganya, entah itu masalah dari anak yang terjerat kasus narkotika, atau istri yang tidak rukun dengan mertua atau bahkan dirinya yang mempunyai masalah dengan dirinya sendiri yaitu perselingkuhan.

Sedangkan disatu sisi ada orang yang hidupnya bisa dibilang kurang mampu, bisa tidur dengan tenang, keluarga tidak punya masalah, penyakit tidak mau menjangkit seperti tidak ada kekurangan. Kecuali kurang satu; kurang mampu itu sendiri.

Kembali lagi pada bahasan “kamu kira rezeki itu apa?”. Sebuah pertanyaan yang mengelilingi pikiran saya selama 3 tahun ini. Sampai akhirnya saya tertarik pada keterangan di sebuah kitab karangan Imam Ghazali bahwa rezeki itu ingat pemberi rezeki. Prolognya adalah seorang yang kurang mampu tapi rajin beribadah memperbandingkan dengan orang yang tidak pernah beribadah tapi kaya raya. 

Secara syar’i memang tidak ada kaitannya seorang yang rajin beribadah akan kaya raya dan relasinya seorang yang tidak pernah beribadah akan miskin. Tapi secara hakiki saya berani mengatakan “Ya” itu ada relasinya.

Jika rezeki kita hargai sebagai nominal, maka betapa tidak adilnya Alloh pada orang-orang yang kurang mampu itu. Padahal Alloh maha adil. Bahwa kita mendapat rezeki ketika kita ingat pada Alloh. Sekaya apapun secara nominal, jika tidak ingat Alloh itu sama saja dengan miskin. 

Semiskin apapun, jika kita ingat Alloh itu berarti kita sedang kaya. Itu berarti kita menghargai pemberian. Tidak ada bandingannya nilai dari rasa syukur. Tidak ada nominal yang mampu menandingi dari ucapan terima kasih. Analoginya adalah ketika dimintai tolong seseorang, dan orang tersebut mengucapkan terima kasih. Remeh. Hanya “terima kasih” tidak ada lima menit dan tidak butuh tenaga seperti mengangkat beban hidup. Tapi “nilainya” lebih dari apapun. Itu sama ketika diberi sesuatu oleh Alloh SWT.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline