Lihat ke Halaman Asli

Surat untuk Kekasihku

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sayang, selain hari ini pernah aku berkata kasar kepadamu. Tak hanya sekedar sentakan via telephone. Tetapi juga sekadar sekata, sekalimat yang setelah itu aku sadari kata atau kalimat tersebut tak pantas aku luncurkan padamu. Bisa ku bayangkan, hal itu tentunya sangat menyayat hatimu.

Hari ini aku sadari, ketika rentetan suara keras dan ketus memberondong, kau lebih memilih untuk tetap bertanya padaku "kenapa?", tentu dengan nada yang begitu lembut. Tapi aku, lebih memilih untuk memutuskan pembicaraan kita yang mungkin sering kali membuat saldo pulsamu berkurang banyak.

Pernah pula ketika hatiku begitu kesal terhadap segala masalah dan problema yang ada di dalam rumah, tak ada kabar dariku. Tak ada pesan singkat, tak ada panggilan ke nomor ponselmu. Tapi dengan nada cemas juga khawatir, kau kirimkan pesan singkat yang membuatku begitu bangga dimiliki olehmu. "Sayang..", mungkin panggilan sekaligus pertanyaan itu begitu membosankan dan terlalu sering kau tanyakan. Aku yakin, suatu saat pertanyaan-pertanyaan ringan itu akan selalu aku rindukan. Oleh sebab itu, aku tak mau kehilangan masa dimana kau selalu menanyakan kegiatanku, menanyakan apa yang sedang aku lakukan dalam hidupku. Aku tahu, sesungguhnya kau sudah tahu hal-hal apa saja yang rutin aku lakukan. Tapi tetap kau tanyakan, aku belajar berpikir positif sepertimu. Semua itu tentu karena kau tak pernah mau putus komunikasi denganku. Untuk itu, segala pertanyaan yang sudah expired-pun tetap kau tanyakan padaku.

Sayang, tahukah kamu? Ada begitu banyak hal egois yang tak bisa aku ungkapkan. Aku begitu mudah terlena oleh emosi jika sebentar saja rasa kesal membuat darahku hangat kemudian naik ke atas titik puncak. Ah, mungkin aku memang sulit membedakan siapa yang membuatku kesal dengan siapa yang seharusnya aku kesali.

Sayang, pernah suatu ketika kita bertengkar. Kau masih ingat? Kau pernah memintaku belajar dari caramu mencintaiku? Yang aku tanyakan, apa kau masih ingat apa jawabanku waktu itu? "Dasar kamu, pamrih", hahaha betapa bodohnya aku, aku bilang cintamu padaku pamrih. Lucu sekali ya aku? Aku tahu banyak pengorbananmu padaku, tak hanya sekedar perasaan sayang, atau cinta dan rasa posesifmu yang berlebihan. Setiap saat kau kirimi aku pesan singkat, dan ada begitu banyak panggilan tak terjawab yang semuanya adalah panggilan dari nomermu yang kadang sengaja aku abaikan bila aku sedang sibuk bergumul dengan kesibukanku sendiri atau sedang sibuk bertukar cerita serta bersenda gurau dengan sahabatku. Kadang ku rasa kau begitu berlebihan dalam mencintaiku. Tapi itulah caramu.

Sayang, lalu bagaimana mungkin aku bisa menilai bahwa cintamu padaku itu sebuah rasa pamrih? Kalau terkadang ucapan terimakasih dariku saja kau tak mau menerima? Ada begitu banyak materi yang kau beri padaku, sebuah ini, sebuah itu, sampai tak bisa terhitung lagi. Terakhir ini adalah sepasang cincin manis untuk rencana pertunangan kita yang kita cari dengan susah payah. Dan semua itu, tak pernah kau perhitungkan. Juga tak pernah kau tanyakan, untuk apa saja sekian rupiah yang kau berikan untukku.

Sayang, dengan segala kekurangan yang begitu melekat padaku, tetaplah mencintaiku. Terimakasih atas segala usahamu untuk tetap mencintaiku, tetap mengingatkan kesalahanku meski setelah itu mulutku tak henti-hentinya mengoceh. Meski begitu, cintamu tak pernah berkurang, justru semakin bertambah. I love you, Hazairin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline