lonely
Namanya yang indah, sayang tak diiringi dengan sifatnya. Banyak kawan apa lagi lawan yang mengecap buruk sikapnya. Mulai sombong, jutek, judes sampai kalimat yang keluar dari mulutnya terasa pedas. Ah, entah pedas atau tegas. Sulit dibedakan. Rona ayu diselingi gemerlap duniawi dari orangtua makin melengkapi hidupnya. Meski kini hanya tinggal Bunda seorang yang menanggung beban. Jadi juragan di pasar Klewer.
Ah Wulan, sayang ayu wajahmu kok sudah ludes di nikmati pria yang kini acuh tak acuh padamu? Pria yang dulu kau puja, kau penuhi nafsu birahi serta segala nafsunya. Kau setir bagai mobil yang mengikuti kehendak tuannya. Dan kau, dulu sebagai nyonya-nya. Kini apa? Pria itu mengejar wanita lain, wanita cantik yang mahir menunggang kuda yang tak manja. Tenang serta gigih menutup auratnya dari pandangan buas pria nakal.
Ternyata otak pintarmu yang dikuliahkan sebagai calon dokter gigi di Universitas ternama di kota pelajar tak membuatmu jadi berpikir akan pentingnya masa depan. Pentingnya menjaga diri dari cengkraman lelaki. Kini kau telah sendiri (lagi) kembali pada Wulan yang berawal dari kesendirian. Sepi dan merintih tanpa ada kekasih.
Jangan malu mengungkapkan kesedihan, Wulan. Kembalikan senyum alami-mu yang ada di balik rentetan kawat gigi. Senyum dan sapalah setiap orang. Jangan menatap ke atas, tapi tataplah sekitarmu dengan penuh kerendahan hati. Ingatlah bahwa merendah, tak berarti murah.
Ketahuilah Wulan, lelaki yang suka memanfaatkan pasangan yang belum resmi berhubungan suami istri adalah lelaki yang tak punya budi pekerti. Dan bila ia mapan, maka yang ia cari adalah perempuan baik-baik yang tak mudah terusik dengan duniawi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H