Tak ada yang bisa menantang kehendak cuaca. Ia, meski abstrak, adalah kekuatan maha dahsyat yang sama sekali tak ada tandingannya dengan apa pun yang ada di atas bumi.
Lihat saja, daun pohon kelor berumur dua bulan di halaman yang sebelumnya selalu hijau segar mulai nampak kuning di beberapa bagian.
Mau tak mau, pohon kelor mesti menyesuaikan diri dengan hujan yang sudah tak turun lebih dari seminggu.
Cuaca yang panas membuat klorofilnya menyerah kalah hingga ia mesti menggugurkan sebagian daun. Itu cara cerdas kelor dalam menghadapi kerasnya kehidupan.
Daun yang kuat yang bertahan, sedangkan yang tak cukup mendapat asupan nutrisi untuk terus tumbuh dibiarkan layu menguning, tak kuat memegang dahan, tak mampu melawan hukum universal gravitasi. Melayanglah ia jatuh ke tanah.
Soal seperti daun jatuh ini sepele sekali, namun di mata seorang Inggris yang lahir prematur bernama Isaac Newton, soal sepele ini malah menjadi pemicu untuk menyibak rahasia-rahasia alam lewat angka-angka yang kita kenal sebagai fisika.
Sampai saat ini, Isaac Newton - yang kemudian dianugerahi gelar Sir oleh Ratu Anne -- dianggap punya kontribusi sains yang lebih besar dibanding jenius dari Jerman bernama Albert Einstein yang juga lahir prematur.
***
Daun yang jatuh ini adalah pihak yang kalah, seolah-olah pecundang tak berguna. Oleh sebab itu, banyak manusia melihatnya sebagai sampah.
Tak salah memang. Ini analogi yang amat pas untuk pihak yang kalah. Dalam kompetisi apa pun, mereka yang kalah mesti dicampakkan, ditendang dari hingar bingarnya kompetisi sebab tak kuat lagi bersaing.