Dalam lanskap ekonomi global yang terus berkembang, peran kebijakan makroprudensial menjadi semakin penting, terutama di era ekonomi digital. Perubahan besar dalam cara masyarakat bertransaksi, menyimpan kekayaan, dan mengelola risiko keuangan telah membawa peluang sekaligus tantangan bagi stabilitas keuangan. Di tengah kemajuan ini, muncul pertanyaan seberapa siap kebijakan makroprudensial menghadapi kompleksitas era digital? Kebijakan makroprudensial bertujuan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan dengan mencegah risiko sistemik---risiko yang dapat memicu keruntuhan sistem keuangan secara luas. Fokus utama kebijakan ini adalah mengantisipasi ancaman dari interaksi antar-lembaga keuangan, pasar, dan perekonomian. Berbeda dengan kebijakan mikroprudensial, yang menargetkan kestabilan lembaga keuangan individual seperti bank, makroprudensial melihat gambaran besar. Contohnya, penggunaan rasio Loan-to-Value (LTV) untuk mengendalikan gelembung properti dan Countercyclical Capital Buffer untuk memastikan bank memiliki cadangan modal yang cukup selama periode pertumbuhan tinggi. Instrumen-instrumen ini telah terbukti efektif dalam menghadapi siklus ekonomi tradisional, tetapi apakah cukup untuk menghadapi era ekonomi digital yang penuh dinamika baru?
Ekonomi digital telah membawa banyak manfaat, termasuk peningkatan inklusi keuangan dan efisiensi transaksi. Teknologi seperti fintech, e-commerce, aset kripto, dan pembayaran digital telah membuka akses ke layanan keuangan bagi jutaan orang, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Di negara berkembang seperti Indonesia, transformasi ini memberikan dampak positif, khususnya dalam mendorong inklusi keuangan. Menurut laporan Bank Indonesia pada tahun 2023, tingkat inklusi keuangan di Indonesia mencapai 85%, meningkat dari 76% pada tahun 2019, sebagian besar berkat perluasan teknologi digital di sektor keuangan. Kemunculan fintech dan perusahaan teknologi besar (BigTech) telah mengubah lanskap keuangan global. Di Indonesia, platform pinjaman peer-to-peer (P2P), pembayaran digital, dan dompet elektronik tumbuh pesat. Pinjaman peer-to-peer (P2P), misalnya telah tumbuh pesat dengan total penyaluran pinjaman mencapai Rp250 triliun pada semester pertama 2024, menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Platform seperti OVO, GoPay, dan Dana telah memimpin dalam pembayaran digital, dengan total transaksi mencapai Rp50 triliun per bulan pada tahun yang sama. Selain itu, sektor e-commerce yang berkembang pesat di Indonesia, seperti Tokopedia, Shopee, dan Bukalapak, telah berkontribusi besar pada penggunaan dompet digital. Data dari Statista menunjukkan bahwa total nilai transaksi e-commerce di Indonesia diproyeksikan mencapai USD 77 miliar pada tahun 2025, menjadikan negara ini salah satu pasar digital terbesar di Asia Tenggara.
Namun, dominasi beberapa pemain besar menciptakan potensi risiko sistemik jika salah satu dari mereka gagal. Ketergantungan pada teknologi digital juga meningkatkan risiko serangan siber. Gangguan pada infrastruktur teknologi informasi lembaga keuangan dapat merusak stabilitas sistem pembayaran dan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan. Kemudian, aset kripto seperti Bitcoin dan Ethereum membawa tantangan baru bagi stabilitas keuangan. Fluktuasi harga yang ekstrem dan penggunaannya yang luas sebagai alat spekulasi menimbulkan risiko bagi investor, sekaligus menciptakan celah bagi aktivitas ilegal seperti pencucian uang. Di negara berkembang seperti Indonesia, infrastruktur digital yang tidak merata dapat menghambat upaya penerapan kebijakan makroprudensial. Di perkotaan, teknologi keuangan berkembang pesat, tetapi di daerah terpencil, akses ke layanan keuangan digital masih sangat terbatas. Untuk menghadapi tantangan di atas, kebijakan makroprudensial harus beradaptasi dengan perubahan zaman. Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi, regulasi keuangan harus mencakup pengawasan terhadap risiko teknologi informasi, termasuk keamanan siber. Lembaga keuangan dan fintech harus diwajibkan untuk menerapkan protokol keamanan yang ketat untuk melindungi data pengguna dan mencegah serangan siber. Regulasi yang jelas diperlukan untuk mengawasi aktivitas fintech dan aset kripto. Misalnya, pengaturan yang mengharuskan penyedia layanan pembayaran digital dan dompet elektronik memiliki cadangan likuiditas yang memadai dapat membantu mencegah risiko sistemik. Selain itu, era digital membutuhkan pendekatan kebijakan yang kolaboratif. Otoritas moneter, regulator keuangan, dan otoritas teknologi harus bekerja sama untuk memastikan pengawasan yang menyeluruh terhadap risiko yang muncul. Kemampuan untuk mengumpulkan dan menganalisis data ekonomi digital secara real-time menjadi sangat penting. Data ini akan membantu regulator memahami tren risiko yang sedang berkembang dan meresponsnya dengan cepat.
Indonesia telah mengambil langkah-langkah signifikan untuk menyesuaikan kebijakan makroprudensial dengan era digital. Bank Indonesia (BI) telah meluncurkan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) untuk mendorong adopsi pembayaran digital secara aman dan efisien. Selain itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus memperketat pengawasan terhadap platform fintech dan P2P lending, termasuk menerapkan batasan bunga dan transparansi data. Namun, implementasi kebijakan ini masih menghadapi hambatan. Salah satu tantangan terbesar adalah kurangnya data yang akurat terkait aktivitas ekonomi digital. Selain itu, regulasi sering kali tertinggal dibandingkan perkembangan teknologi yang sangat cepat. Hal ini menciptakan risiko bahwa ancaman baru tidak terdeteksi atau ditangani tepat waktu.
Makroprudensial tetap menjadi pilar utama stabilitas keuangan, tetapi di era ekonomi digital, kebijakan ini harus berkembang. Regulasi yang adaptif, berbasis data, dan kolaboratif sangat penting untuk menjaga sistem keuangan tetap stabil di tengah perubahan yang cepat. Indonesia memiliki peluang besar untuk memimpin dalam menciptakan kebijakan makroprudensial yang relevan dengan karakteristik ekonomi digital. Dengan langkah yang tepat negara ini tidak hanya dapat melindungi stabilitas keuangannya tetapi juga memanfaatkan potensi ekonomi digital untuk mendorong pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan. Di masa depan, tantangan bagi pembuat kebijakan adalah menemukan keseimbangan antara mendukung inovasi teknologi dan melindungi stabilitas sistem keuangan. Tanpa kebijakan yang responsif, ekonomi digital yang berkembang pesat bisa menjadi ancaman, bukan aset bagi perekonomian nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H