Lihat ke Halaman Asli

Nor Qomariyah

Pembelajar stakeholder engagement, safeguard dan pegiat CSR

Meiliana dan Lumpia Rebung Ke-Indonesia-an

Diperbarui: 6 Februari 2022   21:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi lumpia. Sumber: Shutterstock/deasy taciku via Kompas.com

Perempuan berperawakan sedang, berambut hitam bergelombang dan bermata sipit itu sedang mengaduk bahan tepung dengan cara tradisional. 

Setelah selesai mengaduk bahan kulit Lumpia, taangannya kemudian begitu cekatan mengupas rebung, dan beberapa tambahan bumbu lain untuk ditambahkan sebagai isiannya. Dengan api sedang, ia kemudian memasak seluruh isian Lumpia dan satu-persatu, seluruh kulit itu akhirnya terisi dengan isi Lumpia sampai penuh dan siap dipasarkan melalui WhatsApp dan juga Facebook.

Bagi Meiliana, Lumpia bukanlah sekadar makanan dengan isian sayuran yang penuh gizi. Namun lebih dari itu, Lumpia merupakan simbol kebahagiaan masyarakat khususnya Tionghoa sekalgus simbol akulturasi budaya. 

Dalam perkacapan sunyi, Meiliana mengungkapkan, 'saya merasa, ini adalah sejarah yang bermakna selama saya menjadi bagian dari Indoesia. Lumpia adalah simbol kebahagiaan sekaligus anugerah Tuhan YME bagi saya dan keluarga. Ada do'a dan keberkahan didalamnya, terutama ketika tahun baru dan musim semi telah datang'.

Cik Mei, panggilan akrabnya begitu antusias saat membicarakan nilai-nilai sejarah dalam sebuah Lumpia. Lumpia dikenal dengan sebutan Chunjuan yang sudah dikenal sebelum Dinasti Tang (618-907). Lumpia menjadi hidangan yang akrab ditemukan saat musim semi, yang jatuh pada tahun baru Imlek dan menjadi menu hantaran untuk tetangga, kerabat dan handai taulan, bahkan menjadi berbagai sajian variatif dan merakyat pada zaman tersebut. 

Hanya saja khusus untuk sajian Imlek, Lumpia harus disajikan dalam bentuk silinder dan digoreng hingga keemasan, sebagai simbol pembawa keberuntungan dengan ucapan "Hwung-jin wan-lyang" yang berarti setumpuk emas untuk kita semua di tahun yang baru.

Lebih dari itu, makna Lumpia sendiri menurut Cik Mei, merupakan sejarah yang mempersatukan Tionghoa dan Indonesia. Ia menyebutkan, pertamakalinya Lumpia hadir di Kota Semarang pada abad 19, menjadi perpaduan asli Tionghoa-Jawa, karena pernikahan sejarah pertama Tjoa Thay Joe yang lahir di Fujian dan Mbak Wasih yang merupakan suku Jawa asli. 

Lumpia menjadi makanan yang dikenal pada saat dipasarkan di Olympia Park, Pasar Malam Belanda yang ada di Kota Semarang dan bahkan mulai dikenal sebagai bagian dari salah satu kuliner khas Indonesia, khususnya Kota Semarang Ketika pesta olah raga Games of the New Emerging Forces (GANEFO) zaman Presiden pertama RI, Ir. Soekarno pada 1962 silam.

Kecintaan Meiliana pada Indonesia yang lahir pada 14 Mei 1974, dari suku Hokkian dan bermarga Tan (Chen), ini begitu mendarahdaging. Selain bagaimana ia kemudian memaknai sebuah 'Lumpia' lebih dari sekadar makanan, Cik Mei juga aktif menuliskan berbagai karya yang ia dedikasikan untuk Indonesia, sebagai tempat lahir dan sekaligus sebagai bumi dimana ia dibesarkan. 

Beberapa karya tulis ini bahkan menjadi bagian dari juara cerita bersambung di majalah Femina pada 1997 (Perahu Kertas), Bunga Jambu (1999), Kupu-Kupu (2000), Belajar Terbang (2001). Beberapa karya fiksi yang ia persembahkan sebagai karya untuk anak bangsa diantaranya telah diterbitkan oleh Gramedia, seperti Konser (2009), Gadis Buta dan Tiga Ekor Tikus (2010), Mempelai Naga (2010) dan Sembrani (2010). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline