Lihat ke Halaman Asli

Bukan Soal Gender dengan Tidak Terpilihnya Clinton

Diperbarui: 10 November 2016   09:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dan bahkan warga AS sekalipun belum siap menerima Presiden wanita.....

yg hebat ya Indonesia....

Demikian status seorang teman di facebook, yang juga seorang pengamat sosial di Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Beberapa teman lain juga menyampaikan hal yang sama, bahwa negara demokrasi terbesar di dunia sekalipun belum mampu menerima perempuan sebagai presiden.

Namun menurut saya ini bukan soal ‘burung’. Bukan soal Clinton seorang perempuan atau bukan. Masyarakat Amerika sudah mengenal demokrasi sudah sejak lama. Puncaknya adalah terpilihnya Barack Obama sebagai Presiden Amerika selama dua periode berturut-turut (delapan tahun).

Padahal orang kulit hitam ‘kastanya’ masih lebih rendah dari perempuan dalam peta rasis Amerika. Sementara pada 2008 lalu mayoritas masyarakat Amerika memilih presiden berkulit hitam pertama, mencatat sejarah. Bagi saya, itu adalah puncak kemenangan demokrasi rakyat Amerika.  

Kini, banyak yang terkejut dengan kemenangan Trump. Bahkan Jerman sekalipun. Selama kampanye, Trump bagai ‘badut’ yang menampilkan trik-trik lucu hingga menarik minat media. Kalimat-kalimat rasis dalam kampanyenya, membuat Trump dibenci minoritas.

Nyaris tak terdengar program yang masuk akal. Entah kurang menarik minat pemberitaan media atau memang tidak ada program yang masuk akal. Berdasarkan survey, Clinton sempat diatas angin. Namun belakangan, karena kasus alamat surat elektroniknya kembali dibuka FBI, pamor Clinton menurun.

Ditambah lagi, belakangan Trump merubah gaya kampanyenya hingga merubah arah banyak pemilih. Disamping itu, dua periode kepemimpinan Demokrat dirasa cukup. Semula banyak yang berharap, Demokrat mampu membawa ekonomi Amerika kearah positif. Karena memang biasanya presiden dari Demokrat cenderung menitik beratkan ekonomi sebagai prioritas.

Namun ternyata, kenyataan tak sesuai harapan. Amerika sempat mendekati bankrut dibawah kepemimpinan Obama. Negara tak mampu membayar gaji pegawainya, pengangguran dan kredit macet. Cukup sudah! Dua periode Demokrat dirasa cukup, rakyat Amerika ingin mencoba rasa lain.

Yang tersedia tentu saja Trump, yang diusung Republik. Meskipun programnya sebagian besar terasa konyol, namun ia dirasa bisa member warna baru. Setelah dua periode ‘kulit hitam’ yang dari Demokrat, masyarakat menilai belum saatnya mantan first lady yang juga dari Demokrat, menetap di Gedung Putih.

Jadi ini bukan soal gender. Bukan soal Clinton punya ‘burung’ atau tidak. Ini soal check and balance yang merupakan bagian penting dari demokrasi itu sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline