Lihat ke Halaman Asli

Jahil yang Kurang dan Terlalu Terkonsep

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13315231481985292722

[caption id="attachment_167965" align="alignnone" width="450" caption="memang lucu, ya?"][/caption]

Jahil adalah salah satu fitrah yang mendarah daging dalam diri setiap manusia. Jahil termasuk dalam konteks bercanda atau bersenda gurau, dalam hal ini si pelaku umumnya hanya mencari kesenangan batin semata tanpa bermaksud mencelakakan atau melukai sasarannya. Sama halnya seperti kita bergurau menggoda teman kita, tentu dalam hati kita sama sekali tak terbersit niat melukai atau menyinggung perasaannya, bukan? Jangan salah, Nabi juga pernah bercanda kok (meski tidak sampai jahil sih).

Tapi ngomong-ngomong, siapa yang bisa mengukur tingkat kesadisan kejahilan kita? Apakah kita sendiri? Bukan! Melainkan sasaran kejahilan kita, serta para saksi yang melihatnya. Saat kita menggoda atau menjahili seseorang, kita bisa saja berdalih hanya bercanda. Tapi siapa sih yang bisa meraba hati manusia? Contoh pelaku yang paling konkret, bisa dilihat pada presenter ngondek “kebanggaan” televisi kita. Sudah banyak tokoh besar dan masyarakat strata menengah ke bawah yang tersinggung oleh lawakannya yang menurut saya memang mendiskreditkan, namun toh rekan-rekannya sesama pelaku bisnis hiburan bisa “berkoalisi” membelanya dengan kilah “dia cuma bercanda, kok”. Walhasil, si presenter ngondek itu tetap laris manis dan membuat saya muak dengan kemunculan wajahnya di hampir semua acara milik Trans Corp, ANTV, dan MNC Group, karena yang orang tahu dia “memang cuma bercanda”. KPI saja tak sanggup menghantamkan palu keadilannya karena himpitan pasar.

Ya, lagi-lagi industri hiburan. Mentang-mentang namanya “hiburan”, maka semua acara yang nongol di TV pun dibuat dengan kemasan asal jadi dengan nilai konten yang bisa dibilang nol alias tak bermutu sama sekali, dengan dalih “untuk menghibur masyarakat” atau “masyarakat emang sukanya yang kayak gitu, kok”. Ya, mereka dengan tololnya menggunakan selera masyarakat sebagai alasan. Padahal menurut versi saya, dalih yang paling ideal adalah “emang acara kayak gitu kok yang cocok buat nambah tebel kantong kami”. You knowlah, para petinggi dunia hiburan tak ubahnya bebek pengekor, ke mana selera pasar bergerak, mereka akan dengan setia mengikutinya.

Acara-acara TV belakangan ini, Anda bisa lihat sendiri, hampir semuanya berbau hiburan kosong. Ketika acara komedi dianggap berada di puncak selera pasar, maka bermunculanlah acara-acara setipikal (satu genre) di layar kaca. Yang penting masyarakat ngakak guling-guling, larislah acara itu.

Komedi bukan sesuatu yang buruk. Yang jadi masalah, apa sih kontennya yang akan membuat masyarakat tergelak? Lawakan yang cerdas, atau congor yang asal njepat, asal nyablak, asal dorong sampai jatuh dan nyungsep, dan asal terdengar lucu meski mungkin ada sanubari yang terlukai? Kalau saya ambil si ngondek itu sebagai contoh, maka lebih tepat kriteria yang kedua. Semua ucapan yang dimoncongkannya relatif bersifat spontan alias melontar begitu saja tanpa ada proses filtrasi. Tak jarang unsur SARA sampai ikut terbawa, bahkan pernah pula memuncratkan nama alat kelamin. Inilah jahil yang kurang terkonsep. Mungkin karena faktor pendidikan yang rendah, serta status sosial yang (dulunya) berada di strata bawah. Sehingga ketika namanya memuncak mengangkat derajat dan status sosialnya, ia serta-merta merasa punya “hak” untuk mendiskreditkan strata masyarakat tempat ia dulu merangkak, dan tidak merasa menyesal karena “emang ini kok pekerjaan gue, menghibur masyarakat”. Belum lagi pasukan fans fanatiknya yang labil itu akan setia memoncongkan pembelaan mereka dan menganjing-babi-kan semua yang mengecam idola mereka di jejaring sosial. Makin “menanglah” dia.

Bukan cuma si Gaol sih, tapi juga hampir semua pelawak yang kini mendominasi industri pertelevisian kita. Saya akui saya bukan pelawak, dan saya akui jua bahwa membuat masyarakat terhibur dengan menciptakan joke-joke spontan bukan hal yang mudah. Tapi apa yang bisa dibanggakan dari lawakan yang melulu mendiskreditkan fisik dan status sosial? Sampai jumlah istri yang lebih dari satu atau gagal sebagai walikota pun bisa dijadikan bahan lawakan. Pantaskah? Menurut kacamata agama sih, tentu saja tidak. Tapi kalau dari sudut pandang industri hiburan, tentu saja halal “selama masyarakat terhibur” alias “selama kantong gue tebel”.

Apakah berarti jahil yang terkonsep yang jauh lebih baik? Nanti dulu!

Terkonsep berarti memiliki persiapan dan perencanaan yang matang. Kalaupun suatu lawakan tercurah secara spontan, si pelaku memiliki pengendalian emosi dan filtrasi lisan yang baik sehingga ucapannya tidak menyinggung perasaan orang. Tapi bukankah sesuatu yang berlebihan itu tak baik?

Dulu pernah tayang di stasiun TV—yang katanya paling banyak memuat program bermutu—acara yang konsepnya menakut-nakuti korban dengan menggunakan kostum setan. Di awal-awal penayangannya sih, para korban bisa tertawa lepas ketika tahu mereka dijahili. Program itu masih beruntung, karena sasaran mereka masih bisa “berikhlas hati”. Tapi klimaksnya mereka harus menelan pil pahit saat tingkah mereka menyebabkan seorang ibu hamil mengalami pendarahan hebat saking syoknya saat ditakut-takuti. Walhasil, acara mereka pun dicabut hak siarnya.

Dan satu tahun terakhir sampai saat ini, stasiun TV yang sama membuat program jahil dengan konsep supermatang karena menggunakan properti-properti yang tidak murah dan rumit. Awal-awalnya terkesan bagus dan kreatif serta inovatif, tapi lama-lama saya berpikir, “kok lebay banget, ya?” Maksudnya, bagaimana mungkin mereka rela menghabiskan waktu dan fulus untuk membangun properti dengan biaya yang saya yakin tidak kurang dari ratusan ribu, hanya untuk jahil semata? Apalagi acara ini tidak dilengkapi dengan efek-efek spesial seperti balon pikiran, efek reverse, atau efek adegan diulang-ulang, hanya mengandalkan efek suara tawa buatan sehingga justru membunuh kesan lucunya. Walhasil, program ini jadi seperti kehilangan makna. Terkesan cuma pamer ide kreatif, padahal tujuannya hanya untuk memuaskan hasrat jahil. Dan dari perspektif ekonomi, apa yang mereka lakukan tidak lebih dari pemborosan semata. Padahal masih banyak masyarakat kurang mampu yang bernaung dalam rumah kardus, yang nilainya jauh lebih rendah daripada triplek, semen, atau bahan lain yang mereka gunakan untuk membangun properti jahil tersebut.

Di stasiun lain juga ada acara komedi yang juga terlalu terkonsep. Apalagi saya meragukan keabsahannya. Sudah puluhan episode tayang, tapi masih saja ada korban yang mau dihipnotis. Dibayar berapa, ya? Bukankah seharusnya mereka tahu bahwa aib mereka akan dijadikan konsumsi publik dan ditertawakan pengunjung mal yang nonton? Yah, kalau orang waras pasti akan kabur ke mal lain begitu melihat batangnya, ehm, maksudnya batang hidungnya mantan personil Tofu ini. Dan anehnya, acara pengumbar aib berkedok komedi ini bisa-bisanya menang award? Ups, lagi-lagi pasar berbicara.

KETIKA JAHIL TAK LAGI DIANGGAP DOSA

Ya, ketika jahil sudah dijadikan komoditi pasar untuk meraup keuntungan, maka jahil tak lagi dianggap dosa, dan maka dosa pun tidak lagi jadi momok yang menakutkan. Bahkan tololnya lagi, pernah ada semacam jargon bahwa pekerjaan pelawak adalah berpahala karena menghibur orang. Naudzubillahi minjalik!

Memang, apa sih yang nggak di industri hiburan? Sementara masyarakat biasa hanya bisa mengikuti hukum alam—bersalah dan meminta maaf. Ketika kita bercanda keterlaluan pada sahabat kita, yang bisa kita lakukan adalah meminta maaf. Tapi bagaimana dengan mereka? Mereka menggunakan kekuasaan dan status sosial yang tinggi untuk membela diri, “Lha, memang ini kerjaan gue kok. Kalau situ nggak suka, ya sudah nggak usah nonton!” Dan lagi-lagi masyarakat yang sudah tertindas hanya bisa pasrah saat harus tertimpa tangga pula.

Dan tolong jangan berdalih lagi dengan mengatakan, “Emang masyarakat lagi suka yang kayak begitu, kok,” karena saya bukan sedang menyinggung “apa selera pasar”, melainkan “buruknya selera pasar”. Mustahil kan, seandainya kita menabrak halte bis dengan mobil, kita berkilah, “Memang lagi zamannya nabrakin mobil ke halte, kok.” Atau saat ada anak kecil hobi makan tanah atau kerikil, apa mungkin orangtuanya membiarkan dengan alasan, “Emang anak saya lagi suka makan yang kayak gitu, kok”?

Justru, ketika masyarakat cenderung menggandrungi selera yang kurang pantas atau bahkan buruk, maka ada pihak yang BERTANGGUNG JAWAB akan situasi sosial tersebut. Sesuatu yang telah jadi budaya, tidak selalu bernilai positif, dan harus dicegah. Ketika seorang anak mendadak berwatak buruk padahal orang tuanya bersikeras sudah mendidiknya dengan benar, maka yang bertanggung jawab adalah lingkungan eksternal, terutama dalam hal ini adalah MEDIA! Apalagi orang tua juga manusia, mata mereka tidak selalu awas untuk memperhatikan perkembangan psikologis anak mereka. Dan menekan tombol power di remote juga bukan hal yang sulit bagi anak kecil. Terlebih bila acara-acara sampah itu ditayangkan di jam-jam bebas.

Saya menyukai acara komedi yang kreatif dan jenaka namun tetap punya batasan, seperti Spontan yang tayang di paruh akhir 90-an dulu. Segmen jahilnya yang dilengkapi dengan efek dubbing juga lumayan mengocok perut, namun tidak mendominasi. Karena masih ada segmen lain seperti film pendek pantomim yang tokohnya menyerupai Charlie Chaplin itu (saya lupa namanya, tapi kalau tak salah pemerannya Septian Dwi Cahyo), juga segmen “binatang film” yang menampilkan scene binatang yang didubbing seolah mereka sedang bercakap-cakap mengenai kondisi sosial masyarakat pada saat itu. Sayang, komedi sehat seperti itu tak dapat dijumpai lagi di era serba pasar ini. Saya cuma khawatir aja, bila kelak akan tumbuh stereotip dalam masyarakat bahwa menghina hidung pesek, bicara gagap, dan hal-hal pribadi lainnya, serta mendorong orang sampai jatuh terpuruk adalah tak masalah selama dalam konteks bercanda.

Ah, tulisan ini sepertinya cuma satu dari seribu tulisan senada lain yang juga menyinggung sisi minor industri hiburan kita yang sudah kadung di tampuk kekacauannya. Masyarakat biasa memang cuma bisa bersuara tanpa bisa berharap didengar. Lagi pula siapa sih saya? Cuma mahasiswa introvert yang sok kritis? Siapa sih lo? Emang lo pikir gampang nyari duit? Kita kan gini-gini juga cari makan! Mungkin itu yang ada di benak mereka bila membaca tulisan semacam ini. Ya sudahlah, Mas, Mbak, silakan ngeles dan cari makan dengan terus menerus menjahili orang, toh saya bukan Tuhan yang bisa menjustifikasi haram atau tidaknya uang Anda. Tapi saran saya sih, coba deh berkaca pada sosok-sosok muda yang punya prestasi nyata, bahkan sampai di kancah internasional, namun terluput dari mata kamera karena lebih suka menyorot tingkah polah Anda yang Anda sebut “hiburan” itu. Atau coba tengok para penarik becak, penjual tahu, penjual rujak, dan lain-lain yang punya jasa yang lebih nyata dan tidak perlu menyakiti pihak lain untuk mendapat keuntungan. Wassalam. Mandi dulu, ah.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline