Lihat ke Halaman Asli

Respon Positif Pemurtadan

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Baru-baru ini kita  dihebohkan dengan perusakan makam cucu Sultan Hamengku Buwono VI, Kiai Ageng Prawiropurbo di Semaki, Yogyakarta. Kota yang ramah dengan seribu senyuman itu dinilai oleh kalangan Islam garis keras telah lama membiarkan praktek syirik. Walhasil makam yang di liangnya berisi orang yang sudah mati dan mungkin hanya tulang belulang itu dirusak oleh beberapa orang bercadar dengan alasan merusak akidah warga.

Beberapa bulan yang lalu juga ada berita yang cetar membahana. Seorang calon pendeta yang murtad di Jepara dan diyakini melakukan penghinaan kepada umat islam, dipenggal kepalanya sebagai hukuman atas penghinaan dan ajakannya untuk berpindah ke agama yang dia anut. Sedangkan di Jember, tokoh NU KH Muhyiddin Abdusshomad, dengan susah payah meredam kemarahan ummat agar tidak merespon kristenisasi yang terjadi dengan kekerasan.

Kita perlu bertanya patutkah teror dan kekerasan dilakukan untuk melindungi pemeluk dan kemurnian ajaran agama Islam? Dan respon apa yang seharusnya diberikan oleh ummat islam sebagai agama yang katanya telah disempurnakan Allah dan merupakan rahmat bagi seluruh semesta?

Jawaban dari pertanyaan di atas dapat dilihat dalam sebuah studi kasus di Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang Propinsi Jawa Tengah. Desa ini memiliki proporsi penduduk yang cukup heterogen. Sekitar 55% penduduknya beragama Islam dan 45 % beragama Khatolik. Kebetulan beberapa bulan yang lalu penulis sempat melakukan riset tentang potensi konflik pasca bencana yang diwajibkan oleh dosen. Dan beberapa fakta menarik yang penulis temukan adalah fenomena pemurtadan yang marak terjadi.

Ini memang bukan fenomena baru sebab fakta sejarah yang ada menunjukkan bahwa Fransiscus Georgius Josephus van Lith, seorang Pastur Jesuit telah menjadikan kawasan lereng Merapi sebagai pusat pengembangan misi Katolik di tanah Jawa sejak tahun 1899. Bahkan Kabupaten Magelang merupakan salah satu pusat penyebaran Khatolik di tanah jawa.

Salah satu metode yang dilakukan oleh para misonaris adalah dengan strategi inkulturasi yang menekankan bahwa identitas kejawaan itu tidak mesti hilang dan tidak harus lebur ke dalam identitas Khatolik sebab jawa bisa menjadi Khatolik sekaligus. Selain itu yang tak kalah pentingnya adalah beragam program bantuan di bidang sosial kemanusiaan dan kesejahtraan ekonomi  yang merupakan cara paling ampuh untuk mendakwahi bahkan mengajak masyarakat untuk menghianati ke-tauhid-an mereka.

Misionaris banyak memberikan bantuan sembako, bantuan material untuk membangun rumah pasca bencana, bantuan ekonomi, pendirian dan pengaktifan sanggar seni. Kaum misionaris juga membuka Lembaga Kursus dan bimbingan belajar, atau Taman Baca gratis di mana program ini terbuka untuk anak-anak muslim mulai SD sampai SMA bahkan ada warga yang mengaku bahwa di sela-sela pembelajaran untuk anak-anak mereka juga disisipkan ajaran-ajaran tertentu yang mengarahkan pada keyakinan agama tertentu.

Respon Kalangan Santri

Menanggapi aktivitas kristenisasi di kawasan barat gunung Merapi itu, ummat Islam utamanya para tokoh dan kalangan pondok pesantren merasa perlu untuk turut mengintensifkan dakwah (sebut saja Islamisasi) di kawasan yang sama. Meskipun rintisan dakwah di daerah lereng Merapi telah dimulai pada tahun 1700-an. Namun upaya tersebut dipandang perlu semakin digalakkan mengingat gencarnya upaya kristenisasi. Karena itu berbagai pesantren, sekolah, dan taman pengajian marak didirikan baik dari kelompok NU maupun Muhammadiyah di Kecamatan Dukun.

Di Desa Ngargomulyo sendiri, upaya tersebut dilakukan oleh beberapa tokoh agama. Salah satunya adalah Uztad Nasta’in yang juga merupakan pengasuh pondok pengajian Al-Inayah Desa Argomulyo. Ia menuturkan upaya dakwah tersebut mulai digalakkan lagi sejak tahun1986. Aktivitas yang dilakukan, dimulai dengan membangun pondok pengajian untuk anak-anak dan remaja dan berdakwah di kalangan masyarakat Islam kejawen di Ngargomulyo. Hal ini dilakukan sebagai langkah membendung efek domino penyebaran Khatolik di kawasan Merapi. Dan hasilnya, setelah beberapa tahun berselang semua dusun di Desa Ngargomulyo telah dibangun Musholla padahal sebelumnya di desa itu hanya ada satu Musholla.

Namun upaya Islamisasi yang dilakukan itu bukannya tanpa resistensi. Ketika upaya dakwah yang dilakukan oleh Uztad Nastho’in, di masa-masa awal ia kerap mendapatkan teror dan ancaman. Beliau mengungkapkan saat musholla yang menjadi pusat aktivitas pengajian dan dakwah tersebut baru selesai dibangun, ia secara pribadi mendapat teror. Namun, beliau mencoba menyelesaikannya dengan tenang dan hanya memberikan gertakan dengan mengandalkan solidaritas sesama muslim yang bermukim di desa lain dan mengancam jika sekiranya terjadi sesuatu padanya maka mobilisasi massa muslim dari desa lain akan berdatangan dan menyerbu serta memberikan aksi balasan.

Beliau juga mengungkapkan jika membalas dengan aksi kekerasan justru itu akan membuat masalah baru yang justru akan merusak jalannya aktivitas dakwah di Desa tersebut. Merespon dengan gaya preman sebaiknya dihindari, cukup dijadikan alternatif terakhir saja itu pun dilakukan jika pihak “sebelah” yang memulai terlebih dahulu dan sudah benar-benar mengancam keselamatan jiwa.

Meskipunsebagai seorang muslim, saat mendengar kata kristenisasi biasanya kita menjadi mudah tersulut emosi, dan seketika kemarahan kita memuncak bahkan menjadikan semangat jihad kita kian meluap-luap. Namun akan menjadi masalah jika semangat ini kemudian disalurkan lewat metode dan cara-cara yang justru kontraproduktif dengan niat kita untuk menangkal proses pemurtadan itu. Kekerasan dan teror yang dilakukan justru akan menambah semangat militansi kaum misionaris yang sebetulnya sudah siap dengan beragam resiko bahaya yang akan mengancam mereka sebab mereka pun menganggap bahwa itu adalah misi suci dari agama mereka.

Menurut hemat penulis, yang sebaiknya dilakukan adalah mentransformasi dakwah dari hal yang hanya berkutat pada perkara tauhid, keimanan dan ketakwaan ke arah yang lebih praktis dan menyentuh ke aspek sosial ekonomi. Ini didasarkan pengamatan penulis, melihat semangat dan milintasi para tokoh agama baik dari NU dan Muhammadiyah di desa Ngargomulyo yang telah berdakwah hingga ke level sosial kemanusiaan dan kesejahtraan ekonomi. Inilah yang menjadi sisi lain dari kristenisasi di Ngargomulyo yang ternyata telah merubah dan memperluas fokus dakwah ke hal-hal yang lebih bersentuhan dengan permasalah hidup ummat sehari-hari.

Di Desa yang berbatasan langsung dengan area merapi ini, sekarang dapat dilihat bahwa, selain pengajian rutin di beberapa pondok pesantren, berdirinya madrasah pengajian maupun sekolah-sekolah islam yang berbiaya murah, juga terdapat beberapa ORMAS seperti LPBI NU (Lembaga Penanggulangan Bencana Nahdatul Ulama) dan MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center) yang aktif mendampingi masyarakat setempat melalui program kemandirian ekonomi dan mitigasi bencana. Untuk konteks bencana merapi, Desa Ngargomulyo sekarang sudah termasuk Desa Siaga Bencana di mana salah satu pilar penggeraknya adalah santri pondok pesantren.

Fakta lain yang menarik adalah, meskipun keduanya merupakan organisasi yang berbasis agama (Faith Based Organization) namun dana yang digunakan menjalankan kegiatan tidak mesti harus selalu bersumber dari kas organisasi yang berasal dari ummat. Kedua organisasi tersebut dengan cerdik memanfaatkan dana bantuan luar negri seperti AUS AID. Fakta yang diungkapkan ini menunjukkan bahwa meskipun proses pemurtadan itu tetap berlangsung baik secara sembunyi-sembunyi atau secara terang-terangan, tidak perlu terlalu dikhawatirkan jika memang para tokoh agama sudah siap “berperang dengan cerdas” di wilayah sosial ekonomi.

Meskipun peran kedua organisasi di atas masih dinilai masih kurang dan perlu lebih ditingkatkan lagi namun ini menjadi pelajaran penting bagi ummat Islam dan tokoh agama agar lebih bertanggung jawab menjaga ummatnya. Idealnya setiap jama’ah mesjid tidak harus melulu membangun mesjid yang indah-indah dan megah namun lalai dan tidak peduli terhadap salah satu ummatnya yang kelaparan. Bukankah agama Islam telah mewanti-wanti bahwa kemiskinan itu dekat dengan kekufuran? Ummat Islam harus siap berperang di medan sosial ekonomi dan menghindari aksi-aksi bodoh yang memperlihatkan bahwa Islam adalah “agama serdadu” (seperti kata Weber) yang identik dengan keterbelakangan dan kemiskinan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline