Lihat ke Halaman Asli

Noorhani Laksmi

writer, shadow teacher, Team Azkiya Publishing dan Sanggar Rumah Hijau, Admin Komunitas Easy Writing

Mutiara Jumat (5): Imah-Zimah Kembali Imah

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Ibu … Tabah lapar…”

Ucap anak kecil berumur 4 tahun sambil memegang perutnya.

Ibu Imah bingung menjawab apa lagi kepada anaknya, hari ini sapu lidi yang dijualnya tak ada satupun yang membeli.

Tak kuasa air matanya menetes, Tabah anak dari hasil pergumulannya dengan dunia gelap harus menaggung beratnya beban hidup sekarang.

Empat tahun yang lalu dirinya dengan pongah tertawa diantara lelaki yang memujanya, kecantikan bak mawar merekah di pagi hari, begitu hangat diterpa sinar matahari seiring banyaknya kumbang yang berseliweran ingin merontokan kelopak rapuhnya.

Ditengah hiruk pikuknya musik, gemerlap lampu dan bau minuman  menjadikan semakin sensasionalnya kehidupan Imah.

Uang mengalir setiap malam serasa tak berseri, pemberian-pemberian para penikmat cinta tanpa batas. Bagai piala bergilir yang terus di perebutkan para lelaki haus akan nafsu syahwat.

“ Bu Tabah lapar…” suara anaknya melirih, karena melihat ibunya meneteskan air mata.

Suatu malam…

Berawal dari pelarian Imah karena cinta yang dijaganya harus terhempas begitu saja dari seorang pemuda.

Pemuda yang dicintainya ternyata tidak bisa memperjuangkan dirinya untuk bisa di terima dalam keluarganya. Sang Ibu dari Benta sang pemuda tidak merestui sejoli yang di mabuk asmara karena kasta, kasta miskin dan kaya. Terlalu naïf cinta dicerminkan dengan harta, tapi itulah yang selalu terjadi. Dan begitu banyak sudah korban karena cinta bercermin dengan harta.

Imah tidak tahu harus lari kemana setelah Benta memutuskan untuk meninggalkannya, kembali ke rumah dengan konsekuensi menikah pilihan orang tuanya yang terbelit hutang dengan lelaki yang tidak dicintai atau menjalani suatu kehidupan lain.

Jalan gelap yang kau pilih, penuh liku dan mendaki (hmm lagu dari Iwan Fals ya…).

“Ah rempong nek, udah sana jalan Zimah…” kata Megawati cowo setengah cewe.

“ Apaaan si…”

“Alah elu datang pertama aja polos, sekarang Imaaah jadi Zimah sang  idola, awas nek elu gak bagi-bagi rempahan ama ente … gua sunat2 tuh para idola elu…, remponng – remponggg…” cerocos Megawati (nama aslinya cuma : Mega).

“ Iye ..iye buat elu gua bagi nih rempah2nya…, tapi tetep ya elu jagain gue…”

“Pastinya neeeek, gileee aje gua gak njagain elu…bisa peyang kepala di maki ama si Big Bos, eh elu jaga tuuuh jangan sampe…jangan sampe “ bu-n-ti-eng” ya…bisa di buang elu …”

Keberadaan anak hadir bukan karena jalan gelap dan terang.

Dalam jalan gelap, tumbuh dengan subur buah nafsu yang tanpa identitas.

“Kau gugurkan sajalah Zimah,…buat apa ko pelihara anak tanpa bapak…” si BB marah tanpa ampun.

Zimah bak asset utama di cafenya, sekian persen dari penghasilan Zimah masuk sebagai pajak (hmmm pajak Negara kali ya).

“ Maaf saya kali ini tidak bisa memenuhi kemaun Bos, janin tanpa ayah ini tetap mengalir darah saya, darah ibunya…apapun saya tidak akan membuangnya…cukup sudah dosa saya tapi tidak untuk anak ini…”

“Dasar wanita gak tau diri, Bodo …, ya sudahlah itu pilihan mu…bawa semua barangmu dan angkat kaki kau…pergi…pergi…” maki BB.

Bagai anjing kurapan yang tak berguna Imah pergi tiada arah, untunglah dipinggiran kota  yang kejam, masih bisa bersandar hidup di tengah gubuk kardus nya.

Bersama dengan beberapa pemulung dan orang-orang yang tanpa identitas, tanpa sensus negara berbagi bersama.

Tabah kecil tumbuh ditengah pengapnya sampah dan alam terbuka.

Masih untung Enci May masih mau meminjamkan sapu-sapu lidinya untuk di jualnya dengan mengambil untung tak seberapa.

Imah hanyalah seorang ibu dari gelapnya kehidupan lalu seorang wanita.

Karena Tabah dia bertahan untuk mengubah nasibnya dari kehidupan gelap dengan dibayar mahal menghadapi kesulitan hidup, “nasib baik memang belum menghampiri ku…” itu yang Imah pikirkan hingga ada suatu titik setelah kepapan, kemiskinan menebus gelap hidupnya,  yang lalu seakan menyeimbangkan suatu laku.

“ Ibu…setengah mie yang belum dimasak di bawah kasur…buat Tabah ya…” Imah tersandar.

Ditatapnya bocah laki dekil tanpa tau dari lelaki mana …. Tetaplah wajah yang polos tanpa torehan dosa yang dia bawa…

“Pasti anakku ….makanlah, besok Ibu akan berjuang keras mengubah nasib kita …Ibu janji karena yakin selebar sungai pasti ada tepinya, Ibu yakin sekeras apa hidup ini,  ibu akan lakoni karena mu sampai bertepi suatu hari…”

Mutiara Jumat :

“ Allah selalu akan mengampuni dosa besar sekalian asalkan kita benar-benar menyadari kesalah dan berjanji untuk tidak melakukan kesalahan yang sama…”

Pic. Source : verythfarhana.onsugar.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline