Lihat ke Halaman Asli

Noor WahidHidayattulloh

Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang

Perlakuan Terhadap Tawanan Perang Menurut Hukum Humaniter Internasional

Diperbarui: 11 Januari 2025   20:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Lebih dari satu abad yang lalu, perdebatan tentang hak menandai awal perlakuan terhadap tawanan perang, dan saat ini menjadi topik hangat dalam perjuangan pasca-perang Amerika Serikat melawan terorisme. Hal ini dibuktikan dengan munculnya buku-buku, berbagai publikasi bebas, dan prosedur terkait perlakuan terhadap tawanan perang. Menurut Constraint on War 3 karya Fritz Karlshoeven, tidak semua orang yang ditangkap oleh musuh dianggap sebagai tawanan perang. Bagian 4A dari Konvensi Jenewa Ketiga Tahun 1949 (Konvensi Jenewa tentang Perlakuan terhadap Tawanan Perang) hanya berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat untuk dianggap sebagai tawanan perang. Menurut penjelasan dalam buku "Pengantar Hukum Internasional(J.G. Stark)", dalam konflik bersenjata, orang-orang diklasifikasikan ke dalam dua kelompok berdasarkan status mereka sebagai tawanan perang. Ini berarti bahwa satu kelompok dianggap sebagai kombatan, memiliki hak untuk membunuh, dan akan diperlakukan sebagai tawanan perang jika ditangkap. Sebaliknya, kelompok lainnya terdiri dari warga sipil yang dilindungi, tidak diperbolehkan ikut serta dalam operasi militer, dan tidak boleh menjadi sasaran serangan.

Tujuan utama dari Hukum Humaniter Internasional (HHI) yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah untuk mengurangi dampak konflik bersenjata dan melindungi martabat manusia bahkan di masa perang. Salah satu tujuan penting HHI adalah melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam permusuhan. Ini mencakup warga sipil, kombatan yang terluka dan sakit, tawanan perang, serta kelompok rentan lainnya. Warga sipil harus dilindungi dari serangan langsung, intimidasi, dan kekerasan, guna memastikan keselamatan dan martabat mereka selama konflik. Selain itu, kombatan yang terluka, sakit, kapal karam, atau ditangkap harus diperlakukan secara manusiawi tanpa penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat, sebagaimana diamanatkan oleh Konvensi Jenewa 1949. Petugas medis, pekerja kemanusiaan, dan organisasi seperti Palang Merah juga diberikan perlindungan agar dapat menjalankan tugas mereka tanpa gangguan. Lebih lanjut, infrastruktur sipil penting seperti rumah sakit, sekolah, dan fasilitas air tidak boleh dijadikan target atau digunakan untuk kepentingan militer.

Selain melindungi kelompok rentan, HHI juga berupaya membatasi cara dan alat perang untuk mengurangi penderitaan yang tidak perlu. Hal ini dilakukan dengan membatasi atau melarang penggunaan senjata dan metode yang menyebabkan kerusakan berlebihan atau berdampak secara sembarangan, seperti senjata kimia, senjata biologis, dan ranjau darat antipersonel. Prinsip pembedaan mewajibkan pihak-pihak yang bertikai untuk membedakan antara kombatan dan non-kombatan serta antara sasaran militer dan objek sipil, memastikan bahwa operasi militer hanya ditujukan pada target yang sah. Selain itu, prinsip proporsionalitas melarang serangan yang dapat menyebabkan kerugian sipil yang berlebihan dibandingkan dengan keuntungan militer yang diharapkan. Perlindungan lingkungan juga menjadi perhatian utama, di mana HHI melarang tindakan yang menyebabkan kerusakan besar, jangka panjang, dan parah terhadap lingkungan alam. HHI juga menjamin kelancaran distribusi bantuan kemanusiaan, memastikan makanan, persediaan medis, dan bantuan dapat sampai kepada mereka yang terkena dampak perang tanpa hambatan.

Hukum Humaniter Internasional (HHI) menetapkan bahwa tidak semua individu yang ditahan selama konflik bersenjata secara otomatis dikategorikan sebagai tawanan perang . HHI mengelompokkan para tahanan ke dalam dua kategori: mereka yang memenuhi syarat sebagai tawanan perang dan mereka yang tidak. Individu yang diakui sebagai tawanan perang berhak mendapatkan perlindungan hukum berdasarkan Pasal 4A Konvensi Jenewa Ketiga dan Pasal 43 Protokol Tambahan I (1977). Mereka biasanya adalah kombatan atau individu dengan status setara, yang berarti mereka merupakan pihak yang sah dalam pertempuran. Sebaliknya, mereka yang tidak memenuhi kriteria yang diatur dalam ketentuan tersebut dianggap sebagai warga sipil. Jika seorang warga sipil ditangkap, perlakuannya harus sesuai dengan Konvensi Jenewa Keempat Tahun 1949, sedangkan penyitaan harta pribadi seperti uang harus mengikuti ketentuan dalam Konvensi Jenewa Ketiga Tahun 1949.

HHI juga menekankan perlindungan terhadap kelompok rentan, termasuk individu dengan disabilitas mental, perempuan, dan anak-anak, guna memastikan keselamatan dan perlakuan yang manusiawi selama konflik. Kerangka hukum untuk mengelola tawanan perang diatur secara sistematis dalam Peraturan Den Haag, Konvensi Jenewa Ketiga Tahun 1949, dan Protokol Tambahan I Tahun 1977, yang memberikan klasifikasi yang rinci dan terstruktur mengenai tawanan perang.

Meskipun aturan-aturan tersebut sudah komprehensif, penerapan HHI dalam praktik masih sering tidak konsisten. Meskipun sanksi yang jelas telah ditetapkan untuk pelanggaran, penegakan hukum yang efektif sangat bergantung pada hukum nasional untuk memberikan hukuman pidana atas pelanggaran HHI. Seiring waktu, akuntabilitas atas pelanggaran tersebut diperkuat melalui perangkat hukum seperti Piagam Pengadilan Militer Internasional, resolusi Dewan Keamanan PBB, dan khususnya Statuta Roma yang mendirikan Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Selain itu, HHI secara tegas melarang perbudakan terhadap tawanan perang, dengan mengakui bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang mendasar. Larangan ini mencerminkan prinsip dasar kemanusiaan bahwa setiap orang, bahkan di masa perang, harus diperlakukan dengan martabat dan rasa hormat.

Jadi Kesimpulannya adalah Tawanan Peranga merupakan tentara yg ditangkap oleh musuh selama atau segera selesainya konflik bersenjata. aturan Humaniter internasional adalah sistem aturan(tujuan kemanusiaan) yg menangani konsekuensi perseteruan bersenjata. Hak dan  perlakuan terhadap tawanan perang dimulai lebih satu abad yg lalu dan  kini   menjadi topik hangat sesudah Amerika perkumpulan memulai perang melawan terorisme. Hal ini dibuktikan memakai munculnya berbagai publikasi tulisantulisan bebas sertap raktek-praktek wacana perlakuan terhadap tawanan perang pada konflik bersenjata. Orang-orang ini masuk perang kedalam dua golongan, yaitu golongan tadi berstatus kombatan, berhak ikut dan  pribadi dalam permusuhan, dapat dibunuh, dan ditanggapi sebagai tawanan perang Jika sebagai tawanan bagi mereka yang tidak (atau tidak lagi terlibat) dalam permusuhan, aturan humanisme internasional menetapkan bahwa tidak seluruh orang yang ditangkap oleh pihak lain memenuhi syarat buat ditanggapi menjadi tawanan perang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline